Mengadili Iman, Memberangus Keyakinan
Terkait dengan fatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, masjid milik jemaah Ahmadiyah dibakar massa. Sejumlah fasilitas milik mereka juga dirusak. Di Istana, debat seru terjadi di antara para penasihat presiden. Dari soal keyakinan, soal Ahmadiyah, lalu masuk ranah politik.
Dimulai selepas salat Jumat, rapat itu berakhir petang hari. Dua pekan lalu itu, Dewan Pertimbangan Presiden menggelar rapat di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Ini acara rutin, yang biasanya digelar dua kali sepekan. Rapat dibuka Ali Alatas, ketua dewan itu.
Di atas meja tersaji teh hangat dan jajan pasar. Delapan anggota Dewan tekun menyimak kata pembuka dari Alex, begitu Ali Alatas biasa disapa. Adnan Buyung Nasution, yang menangani bidang hukum, datang terlambat karena sakit.
Seperti rapat rutin lainnya, setiap anggota Dewan bergiliran bicara sesuai dengan bidang masing-masing. Dari pertahanan, ekonomi, politik, hingga agama. Sampai di situ semua masih terlihat rutin.
Suasana mulai mendidih ketika giliran Buyung tiba. Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu langsung bicara soal Ahmadiyah. Buyung meminta Dewan Pertimbangan memberi rekomendasi kepada Presiden agar menolak pembubaran Ahmadiyah.
Ma’ruf Amin, yang duduk di sebelah Buyung, langsung memberi tanggapan. Dia menentang keras usul itu. Keduanya lalu berdebat. ”Pokoknya, alot dan kencang,” kata sumber Tempo yang hadir di sana.
Sejumlah anggota Dewan lain berusaha mencari jalan tengah tapi gagal. ”Yang satu bicara demokrasi, yang lain bicara keyakinan,” kata Subur Budi Santoso, anggota Dewan lainnya yang juga hadir dalam rapat itu.
Berdebat hingga petang, yang ditemui cuma jalan buntu. Sesudah itu, mereka perang kata-kata di muka umum. Kepada media massa, Buyung berkata, ”Semua anggota Dewan menolak pembubaran Ahmadiyah kecuali Ma’ruf Amin.”
Tapi Ma’ruf Amin membantah jika dikatakan bahwa Dewan telah mengeluarkan keputusan. Dia menegaskan, ”Kami belum memutuskan rekomendasi apa pun soal Ahmadiyah.”
Beberapa organisasi massa yang menolak Ahmadiyah malah menuduh Buyung ”main sendiri”. Munarman, kuasa hukum Forum Umat Islam yang menolak Ahmadiyah, menegaskan, ”Ini pembajakan Dewan Pertimbangan Presiden oleh Adnan Buyung.”
AKSI mendukung dan menolak Ahmadiyah kian tajam dua pekan terakhir. Tak seperti keyakinan umat Islam pada umumnya, aliran yang berhulu di Pakistan ini meyakini Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, sebagai Imam Mahdi.
Pengikut Ahmadiyah meyakini bahwa pada 1876 Mirza memperoleh ilham pertama dari Allah, saat dia berusia 40 tahun. Ketika itu ayahnya sedang terkulai koma. Ilham itu mengatakan ayah Mirza akan wafat setelah magrib dan itulah memang yang terjadi.
”Perintah Allah” itu terus berdatangan. Sejumlah ilham tersebut kemudian ditulis menjadi tazkirah, yang oleh sejumlah kalangan disebut sebagai kitab suci Ahmadiyah.
Tak hanya menerima ”wahyu”, Mirza juga pemikir yang rajin menulis di surat kabar. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Buku itu berisi pembelaan terhadap Islam dari serangan Barat. Oleh para pengikutnya, Mirza lalu dianggap mujadid.
Pengikutnya bertambah pesat. Sejumlah buku menyebutkan pada mulanya pengikut Mirza disebut Qadianiyah atau Mirzaiyah. Qadianiyah merujuk pada tempat Qadian, tempat tinggal Mirza dan Mirzaiyah merujuk pada namanya.
Nama itu kemudian berganti menjadi Ahmadiyah. Buku Ahmadiyah, Keyakinan yang Digugat, menyebutkan nama itu muncul ketika pemerintah Inggris, yang menjajah India, melakukan sensus penduduk, mewajibkan orang mencantumkan agamanya.
Di Indonesia, Ahmadiyah masuk pada 1924. Saat itu dua orang mubalig Ahmadiyah, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, tiba di Yogyakarta dan diizinkan berpidato dalam muktamar ke-13 Muhammadiyah. Tahun berikutnya, mubalig Ahmadiyah lainnya mendarat di Tapaktuan, Aceh, dan mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah ke seluruh Sumatera (lihat ”Sabda dari Qadian”).
Dalam perjalanannya, Ahmadiyah pecah menjadi dua: Qadian dan Lahore. Yang pertama tetap mengakui kenabian Mirza, sedangkan yang kedua menolaknya. Nama Lahore dipakai untuk menandai kelahiran kelompok ini di Lahore, Pakistan.
Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian bergabung dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Adapun kelompok Lahore bergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
MAJELIS Ulama Indonesia berkali-kali mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah, terutama mereka yang Qadiani. Pada 1980, majelis itu menilai Qadiani sebagai aliran sesat. Kelompok Lahore tidak disebut-sebut dalam fatwa itu.
Dalam fatwa Majelis yang terbit pada 2005, Lahore juga dinyatakan sesat. Pada tahun yang sama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat merekomendasikan agar pemerintah melarang Ahmadiyah dari seluruh wilayah hukum Indonesia. Tapi pemerintah belum bersikap atas aliran itu.
Sejak sikap anti-Ahmadiyah kian keras dua tahun terakhir, Departemen Agama memilih berdialog dengan petinggi Ahmadiyah, terutama dari aliran Qadiani. Petinggi aliran ini menyambut baik. Sepanjang 2007, dialog itu berlangsung tujuh kali.
Dari reli dialog itu kemudian disimpulkan bahwa pengikut Ahmadiyah ingin diterima sebagai bagian dari komunitas muslim Indonesia. Pemerintah setuju dengan syarat para petinggi aliran itu kembali mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir.
Mungkin karena merasa tertekan, pemimpin Ahmadiyah lalu melunak dan menuangkan sikap mereka dalam 12 butir pernyataan. Di situ antara lain dijelaskan bahwa Ahmadiyah mengakui Muhammad Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir dan Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, pembawa berita gembira, yang bertugas memperkuat syiar Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Penjelasan itu ditandatangani pada 14 Januari 2008 dan diumumkan sehari berselang.
Menteri Agama lalu membentuk tim khusus yang bertugas memantau pelaksanaan 12 butir penjelasan Ahmadiyah itu. Tim ini resmi dibentuk pada 24 Januari 2008 lewat Surat Keputusan Nomor 6 Tahun 2008.
Setelah tiga bulan memantau, tim itu menyimpulkan bahwa Ahmadiyah tidak melaksanakan keputusan tersebut secara konsisten. Sementara itu, sejumlah petinggi aliran tersebut hakulyakin semua butir berjalan di lapangan.
Perbedaan itu membuat semuanya kembali ke titik nol. Pada 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat kembali menggelar rapat membahas Ahmadiyah. Hasilnya? Badan itu memerintahkan Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan.
Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, yang menjabat ketua badan itu, mensinyalir praktek ajaran Ahmadiyah sudah mengganggu ketertiban umum. ”Peringatan harus dilakukan lewat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.”
Badan itu mengingatkan para pemuka agama dan organisasi massa Islam agar menjaga ketertiban dan menghormati proses penyelesaian Ahmadiyah.
Repotnya, tidak semua warga taat pada imbauan itu. Dini hari, Senin pekan lalu, sebuah masjid milik Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat, hangus dibakar sekelompok orang (lihat ”Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk”). Kini sekitar 500 ribu pengikut di seantero negeri gundah-gulana.
Para petinggi Ahmadiyah tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Mereka meminta bantuan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mereka juga berusaha menyatukan langkah dengan menggelar pertemuan nasional di Bali pada 19 April 2008. Polisi sudah memberi izin, tapi ancaman yang berdatangan membuat rencana itu kandas.
Kini harapan mereka tinggal satu: surat keputusan bersama Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Jika tiga pejabat itu menyetujui keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, tamat sudah riwayat Ahmadiyah.
Massa Islam di lapangan tidak sedikit juga yang berdiri di belakang Ahmadiyah. Sejumlah organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat dikabarkan menggelar aksi simpatik untuk Ahmadiyah pekan ini.
Selasa pekan lalu, 500 orang menggelar unjuk rasa di halaman pendapa Kabupaten Sukabumi, persis ketika Musyawarah Pimpinan Daerah Sukabumi sedang berunding soal Ahmadiyah.
Abah Tatan, koordinator forum orang miskin, mengecam pembakaran masjid di Sukabumi itu. Dia mendesak para petinggi yang sedang rapat agar menangkap para pelaku.
Para santri wilayah Cirebon menuntut pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku pembakaran tersebut. ”Kami menolak keras aksi pembakaran masjid itu,” kata Solichin, Ketua Forum Komunikasi Alumni Keluarga Santri Wilayah Cirebon.
Solichin menuding sikap pemerintah yang tidak tegas menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Dia menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil sikap.
SENIN dua pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji memastikan surat keputusan bersama akan terbit 23 April 2008.
Para petinggi Ahmadiyah yang resah sekuat tenaga menjalin lobi. Pada 22 April 2008, mereka mengadu kepada Dewan Pertimbangan Presiden. Di sana mereka diterima sejumlah anggota Dewan, termasuk Adnan Buyung Nasution.
Dalam pertemuan itu, petinggi Ahmadiyah berkeluh-kesah soal surat keputusan bersama tersebut. Mereka berharap Dewan memberi masukan kepada Presiden agar membatalkan penerbitan keputusan itu.
Angin segar ditiupkan anggota Dewan Pertimbangan. ”Akan kami coba secepatnya mencegah keluarnya surat keputusan itu,” kata anggota Dewan bidang hukum, Adnan Buyung Nasution. Dia juga berjanji akan meminta Yudhoyono membatalkan pembacaan keputusan tersebut. Entah karena lobi Buyung itu entah bukan, pengumuman surat keputusan bersama tersebut dibatalkan.
Tapi akhir pekan lalu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan bahwa Senin ini, surat keputusan bersama tiga menteri itu akan dikeluarkan.
Wens Manggut, Sunudyantoro (Sukabumi), Yugha Airlangga, Bunga Manggiasih (Jakarta)
--------------------------------------------------------------------------------
Dua belas butir penjelasan
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengenai keyakinannya, yang dibacakan Amir Ahmadiyah Indonesia Abdul Bashid di hadapan rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat di Departemen Agama pada Januari lalu.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).
Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, dan pendiri serta pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Untuk memperjelas bahwa kata ”Rasulullah” dalam 10 syarat baiat yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, kami mencantumkan kata ”Muhammad” di depan kata ”Rasulullah”.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
Buku tazkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama tazkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk umat Islam dari golongan mana pun.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian serta perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke Kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah serta persatuan dan kesatuan bangsa.
http://www.tempointeraktif.com/
”Perintah Allah” itu terus berdatangan. Sejumlah ilham tersebut kemudian ditulis menjadi tazkirah, yang oleh sejumlah kalangan disebut sebagai kitab suci Ahmadiyah.
Tak hanya menerima ”wahyu”, Mirza juga pemikir yang rajin menulis di surat kabar. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Buku itu berisi pembelaan terhadap Islam dari serangan Barat. Oleh para pengikutnya, Mirza lalu dianggap mujadid.
Pengikutnya bertambah pesat. Sejumlah buku menyebutkan pada mulanya pengikut Mirza disebut Qadianiyah atau Mirzaiyah. Qadianiyah merujuk pada tempat Qadian, tempat tinggal Mirza dan Mirzaiyah merujuk pada namanya.
Nama itu kemudian berganti menjadi Ahmadiyah. Buku Ahmadiyah, Keyakinan yang Digugat, menyebutkan nama itu muncul ketika pemerintah Inggris, yang menjajah India, melakukan sensus penduduk, mewajibkan orang mencantumkan agamanya.
Di Indonesia, Ahmadiyah masuk pada 1924. Saat itu dua orang mubalig Ahmadiyah, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, tiba di Yogyakarta dan diizinkan berpidato dalam muktamar ke-13 Muhammadiyah. Tahun berikutnya, mubalig Ahmadiyah lainnya mendarat di Tapaktuan, Aceh, dan mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah ke seluruh Sumatera (lihat ”Sabda dari Qadian”).
Dalam perjalanannya, Ahmadiyah pecah menjadi dua: Qadian dan Lahore. Yang pertama tetap mengakui kenabian Mirza, sedangkan yang kedua menolaknya. Nama Lahore dipakai untuk menandai kelahiran kelompok ini di Lahore, Pakistan.
Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian bergabung dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Adapun kelompok Lahore bergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
MAJELIS Ulama Indonesia berkali-kali mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah, terutama mereka yang Qadiani. Pada 1980, majelis itu menilai Qadiani sebagai aliran sesat. Kelompok Lahore tidak disebut-sebut dalam fatwa itu.
Dalam fatwa Majelis yang terbit pada 2005, Lahore juga dinyatakan sesat. Pada tahun yang sama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat merekomendasikan agar pemerintah melarang Ahmadiyah dari seluruh wilayah hukum Indonesia. Tapi pemerintah belum bersikap atas aliran itu.
Sejak sikap anti-Ahmadiyah kian keras dua tahun terakhir, Departemen Agama memilih berdialog dengan petinggi Ahmadiyah, terutama dari aliran Qadiani. Petinggi aliran ini menyambut baik. Sepanjang 2007, dialog itu berlangsung tujuh kali.
Dari reli dialog itu kemudian disimpulkan bahwa pengikut Ahmadiyah ingin diterima sebagai bagian dari komunitas muslim Indonesia. Pemerintah setuju dengan syarat para petinggi aliran itu kembali mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir.
Mungkin karena merasa tertekan, pemimpin Ahmadiyah lalu melunak dan menuangkan sikap mereka dalam 12 butir pernyataan. Di situ antara lain dijelaskan bahwa Ahmadiyah mengakui Muhammad Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir dan Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, pembawa berita gembira, yang bertugas memperkuat syiar Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Penjelasan itu ditandatangani pada 14 Januari 2008 dan diumumkan sehari berselang.
Menteri Agama lalu membentuk tim khusus yang bertugas memantau pelaksanaan 12 butir penjelasan Ahmadiyah itu. Tim ini resmi dibentuk pada 24 Januari 2008 lewat Surat Keputusan Nomor 6 Tahun 2008.
Setelah tiga bulan memantau, tim itu menyimpulkan bahwa Ahmadiyah tidak melaksanakan keputusan tersebut secara konsisten. Sementara itu, sejumlah petinggi aliran tersebut hakulyakin semua butir berjalan di lapangan.
Perbedaan itu membuat semuanya kembali ke titik nol. Pada 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat kembali menggelar rapat membahas Ahmadiyah. Hasilnya? Badan itu memerintahkan Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan.
Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, yang menjabat ketua badan itu, mensinyalir praktek ajaran Ahmadiyah sudah mengganggu ketertiban umum. ”Peringatan harus dilakukan lewat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.”
Badan itu mengingatkan para pemuka agama dan organisasi massa Islam agar menjaga ketertiban dan menghormati proses penyelesaian Ahmadiyah.
Repotnya, tidak semua warga taat pada imbauan itu. Dini hari, Senin pekan lalu, sebuah masjid milik Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat, hangus dibakar sekelompok orang (lihat ”Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk”). Kini sekitar 500 ribu pengikut di seantero negeri gundah-gulana.
Para petinggi Ahmadiyah tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Mereka meminta bantuan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mereka juga berusaha menyatukan langkah dengan menggelar pertemuan nasional di Bali pada 19 April 2008. Polisi sudah memberi izin, tapi ancaman yang berdatangan membuat rencana itu kandas.
Kini harapan mereka tinggal satu: surat keputusan bersama Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Jika tiga pejabat itu menyetujui keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, tamat sudah riwayat Ahmadiyah.
Massa Islam di lapangan tidak sedikit juga yang berdiri di belakang Ahmadiyah. Sejumlah organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat dikabarkan menggelar aksi simpatik untuk Ahmadiyah pekan ini.
Selasa pekan lalu, 500 orang menggelar unjuk rasa di halaman pendapa Kabupaten Sukabumi, persis ketika Musyawarah Pimpinan Daerah Sukabumi sedang berunding soal Ahmadiyah.
Abah Tatan, koordinator forum orang miskin, mengecam pembakaran masjid di Sukabumi itu. Dia mendesak para petinggi yang sedang rapat agar menangkap para pelaku.
Para santri wilayah Cirebon menuntut pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku pembakaran tersebut. ”Kami menolak keras aksi pembakaran masjid itu,” kata Solichin, Ketua Forum Komunikasi Alumni Keluarga Santri Wilayah Cirebon.
Solichin menuding sikap pemerintah yang tidak tegas menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Dia menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil sikap.
SENIN dua pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji memastikan surat keputusan bersama akan terbit 23 April 2008.
Para petinggi Ahmadiyah yang resah sekuat tenaga menjalin lobi. Pada 22 April 2008, mereka mengadu kepada Dewan Pertimbangan Presiden. Di sana mereka diterima sejumlah anggota Dewan, termasuk Adnan Buyung Nasution.
Dalam pertemuan itu, petinggi Ahmadiyah berkeluh-kesah soal surat keputusan bersama tersebut. Mereka berharap Dewan memberi masukan kepada Presiden agar membatalkan penerbitan keputusan itu.
Angin segar ditiupkan anggota Dewan Pertimbangan. ”Akan kami coba secepatnya mencegah keluarnya surat keputusan itu,” kata anggota Dewan bidang hukum, Adnan Buyung Nasution. Dia juga berjanji akan meminta Yudhoyono membatalkan pembacaan keputusan tersebut. Entah karena lobi Buyung itu entah bukan, pengumuman surat keputusan bersama tersebut dibatalkan.
Tapi akhir pekan lalu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan bahwa Senin ini, surat keputusan bersama tiga menteri itu akan dikeluarkan.
Wens Manggut, Sunudyantoro (Sukabumi), Yugha Airlangga, Bunga Manggiasih (Jakarta)
--------------------------------------------------------------------------------
Dua belas butir penjelasan
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengenai keyakinannya, yang dibacakan Amir Ahmadiyah Indonesia Abdul Bashid di hadapan rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat di Departemen Agama pada Januari lalu.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).
Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, dan pendiri serta pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Untuk memperjelas bahwa kata ”Rasulullah” dalam 10 syarat baiat yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, kami mencantumkan kata ”Muhammad” di depan kata ”Rasulullah”.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
Buku tazkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama tazkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk umat Islam dari golongan mana pun.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian serta perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke Kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah serta persatuan dan kesatuan bangsa.
http://www.tempointeraktif.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar