Persinggungan Founding Father Dengan Ahmadiyah: Sebuah Sejarah Yang Terlupakan
Oleh :A. Faizal Reza
(Pemerhati masalah sosial dan agama, tinggal di Bandung)
Ketika seharusnya saudara-saudara kita dari Ahmadiyah mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan akibat tindakan persekusi yang menimpanya akhir-akhir ini, para pejabat kita malah mengeluarkan pernyataan yang menyakiti perasaan mereka. Salah satunya datang dari seorang pejabat tinggi negara kita yang mempertanyakan kontribusi Ahmadiyah terhadap bangsa ini. Ibarat pepatah, “Bukannya menolong, tetapi menggolong” Bukannya perlindungan yang didapat, kesusahan yang mereka alami semakin bertambah. Point inilah yang ingin penulis ulas.
Ahmadiyah menjejakkan pengaruhnya di tanah air jauh sebelum era kemerdekaan. Setidaknya pada tahun 20-an, literatur-literatur Ahmadiyah sudah dikenal tokoh-tokoh pergerakan kita. Jadi, ketika Ahmadiyah Lahore masuk pertama kali ke tanah air dengan perantaraan mubalighnya, Mirza Wali Ahmad Beig pada 1924, lalu disusul setahun kemudian oleh Ahmadiyah Qadian, melalui utusannya Tuan Rahmat Ali, tokoh-tokoh pergerakan tidak terlalu asing lagi. Satu hal yang tidak dapat disangkal, Ahmadiyah menawarkan pemahaman-pemahaman Islam yang segar, dan ini cocok dengan mereka yang merasakan gejala “inferiority complex” ketika berhadap-hadapan dengan hegemoni Barat. Pengaruh Ahmadiyah terlihat pada kongres Sarekat Islam 1928, di Yogya. Dalam kongres itu dibicarakan tafsir Qur’an -yang digarap Tjokroaminoto- yang ternyata didasarkan atas tafsir Ahmadiyah Lahore. Mengapa justeru memakai tafsir Ahmadiyah ? Tentang ini Agus Salim menerangkan bahwa dari segala jenis Al-Qur’an, yaitu dari kaum kuno, kaum mu’tazillah, ahli sufi dan golongan modern (di antaranya, Ahmadiyah), tafsir Ahmadiyahlah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar (Pringgodigdo, 1978 : 41).
“Nuansa” Ahmadiyah juga turut mewarnai pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Seperti dituturkan Nurcholish Madjid, saking terpelajarnya, mereka ini memilih buku-buku Islam dalam bahasa Barat, yang pada waktu itu tidak ada yang lain kecuali terbitan Ahmadiyah. Maka dari itu banyak sekali orang memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah.
Lebih kentara lagi pengaruh tersebut kepada Bung Karno. Buku-Buku Ahmadiyah turut berkonstribusi “mematangkan” pemahaman ke-Islamannya. Akibatnya, tak sedikit tulisan-tulisan Bung Karno yang menyertakan Ahmadiyah di dalamnya. Ketika di buang ke Endeh, Bung Karno menyatakan bahwa pemahaman-pemahaman kelompok ini merupakan pemahaman yang modern, rasional, dan broadminded. Sikap Bung Karno tersebut tak urung mengundang lawan-lawan politiknya menuduh beliau menjadi propagandis Ahmadiyah. Hal ini dibantah Bung Karno sendiri, namun demikian penghargaannya terhadap kelompok ini tidak pernah berhenti. Semisal dalam artikel “Memudakan Pengertian Islam” yang ditulis Bung Karno pada tahun 40-an. “ Di sana Bung Karno menyoroti Ahmadiyah sebagai organisasi Islam yang mempunyai pengaruh besar tidak saja di India, lebih dari itu merupakan faktor penting pula di dalam dakwah Islam di benua Eropa (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I).
Sejarah mencatat pula konstribusi Ahmadiyah internasional untuk tanah air kita. Ketika Kemerdekaan Indonesia baru saja dikumandangkan, sebagai negara yang masih muda tentu membutuhkan dukungan serta pengakuan dari negara-negara lainnya, dan Ahmadiyah turut aktif mengkampanyekan hal ini ke seluruh dunia. Banyak tulisan-tulisan dalam surat kabar –yang ditulis tokoh-tokoh Ahmadiyah- membentangkan sejarah perjuangan kita yang intinya untuk menyiarkan seluas-luasnya kemerdekaan yang baru saja dicapai bangsa Indonesia.
Secara lebih Khusus, Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad –pemimpin Ahmadiyah (Qadian) internasional ketika itu- memberikan seruan kepada seluruh pemimpin dunia Islam supaya mereka dengan serentak menyatakan sikapnya untuk mengakui berdirinya pemerintahan Republik Indonesia. Hal ini kemudian diiringi perintah spritual, agar para pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia berpuasa tiap hari Senin-Kamis selama bulan September-Oktober guna memohon do’a kepada Allah untuk kejayaan Indonesia (Kedaulatan Rakyat, edisi Selasa Legi, 10/12/46).
Perintah Pimipinan Ahmadiyah Internasional ini kemudian dijalankan Sayyid Shah Muhammad al-Jailani, mubaligh Ahmadiyah Qadian untuk Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan sosialnya mendukung kemerdekaan, Shah Muhammad mulai dikenal Bung Karno. Semenjak itu hubungan keduanya semakin erat dan di kemudian hari, atas jasa-jasanya, Shah Muhammad dianugerahi status kewarganegaraan Indonesia. Tokoh Ahmadiyah lainnya yang turut aktif dalam revolusi kita adalah R. Muhyidin –Ketua Pengurus Besar Ahmadiyah Qadian-. Karena aktivitasnya sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan tahun pertama di Ibukota RI, mengakibatkan beliau diculik tentara Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya.
Pada saat agitasi-agitasi anti Ahmadiyah sedang hangat-hangatnya di Pakistan tahun 50-an, di Indonesia sendiri Shah Muhammad tidak tinggal diam. Salah satu target serangan mullah-mullah Pakistan pada waktu itu adalah Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan yang kebetulan adalah seorang ahmadi. Shah Muhammad kemudian menemui Mr. Jusuf Wibisono-tokoh Masyumi-. yang mengakui banyak membaca literatur-literatur Ahmadiyah, meski dirinya bukan seorang Ahmadi. Sebagai hasil dari pembicaraannya itu, Jusuf Wibisono menulis serangkaian karangan dalam Harian Mimbar Indonesia guna mengkritik pemerintah Pakistan, sebab Zafrullah sudah berjasa besar bagi dunia Islam dan untuk Pakistan sendiri.
Tidak lama setelah tulisan-tulisan Jusuf Wibisono tersiar, Duta Besar Pakistan Untuk Indonesia, Choudry Muddabbir Husein mengakui kepada Shah Muhammad bahwa dirinya telah dipanggil menghadap Presiden Soekarno. Pada kesempatan itu Bung Karno menyalahkan serta menyesalkan Pemerintah Pakistan yang bersikap masa bodoh terhadap kejadian huru-hara anti Ahmadiyah dan Zafrullah Khan. Peringatan keras Bung Karno, dapat dilihat dari kata-katanya kepada sang duta besar, “Sampaikan segera kepada pemerintahmu,kalau Pemerintah Pakistan terus membiarkan keadaan itu berlarut-larut dan tidak berusaha mengatasinya dengan segera, maka kami akan meninjau kembali apa perlunya pemerintah Indonesia melanjutkan hubungan diplomatik dengan pemerintah semacam itu. (Sinar Islam, 1977).
Kedekatan Ahmadiyah terjalin juga dengan “Dwitunggal” lainnya, yakni Bung Hatta. Serupa dengan Bung Karno, tokoh proklamator ini mengenal Ahmadiyah melalui buku-buku dan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Indonesia. Dan jika kita mau meneruskan ini, masih banyak peran serta kontribusi Ahmadiyah yang belum terungkap. Semisal bagaimana Departemen Agama kita mengutip buku “Pengantar Untuk Mempelajari Al-Qur’an,” karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II Ahmadiyah, untuk proyek tafsir Al-Qur’an tanpa pernah menyebutkan sumbernya. Atau tokoh Arief Rahman Hakim –Pejuang Ampera- yang ternyata adalah seorang anggota Khudam, Pemuda Ahmadiyah.
Melihat kedekatan Ahmadiyah dengan founding fathers, pada gilirannya membawa keprihatinan menyikapi para pejabat kita sekarang. Mengapa mereka tidak searif bapak-bapak pendiri negara ini ? Jawabannya terletak pada kualitas mereka sebagai pemimpin.