Rabu, 05 November 2008

Cak Nun dan Komunitas Ahmadiyah Berlin



(Cak Nun dan Komunitas Ahmadiyah Berlin)
http://www.padhangmbulan.com/ info/4-berita/ 121-ahmadiyah- berlin

Pada kesempatan itu Emha dan Novia menyempatkan bertemu dengan Jemaat Ahmadiyah, berikut ini adalah penuturan Emha yang disampaikan melalui email; Selama ini terdapat kesalahpahaman dan disinformasi serius tentang 'kasus' Ahmadiyah di Indonesia. Berita-berita yang sampai ke masyarakat Ahmadiyah di sejumlah Negara menyebutkan bahwa yang terjadi di Indonesia bukan hanya aktivitas Ahmadiyah dilarang, tapi juga para pimpinan atau Imam-Imam Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, dibunuh. Demikian menurut Emha Ainun Nadjib, sesudah perjumpaannya dengan Imam Abdel Basith Thariq (Imam Ahmadiyah di Berlin, Jerman) 24 Oktober 2008 yang lalu.

Pertemuan itu berlangsung di Masjid Khadija, markas Jemaat Ahmadiyah Qodiyan di wilayah yang dulunya terletak di Berlin Timur sebelum reunifikasi dua Jerman beberapa tahun silam. "Kecanggihan teknologi informasi tidak banyak menolong berkurangnya kemungkinan distorsi dan deviasi atau bahkan pembalikan fakta-fakta tentang sesuatu hal, terutama yang menyangkut Islam", katanya.

Jemaat Ahmadiyah dan Kaum Muslimin di Jerman mengalami berbagai 'ujian'. Berdirinya Masjid Khadija mendapat tentangan keras dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat yang dulunya adalah rakyat DDR atau Negara sosialisme Jerman Timur yang memang tidak punya pengalaman berinteraksi dengan Ummat Islam. Tidak sedikit di antara masyarakat lokal tersebut yang bukan hanya fobi atau bahkan anti-Islam, tapi juga belum bisa menerima pergaulan dengan "orang asing" dengan Agama apapun. Akan tetapi konstitusi Negara Jerman mensyahkan berdirinya Masjid itu dan secara konsekwen aparat kepolisian menjaga keamanannya.

Pertemuan Emha dengan Imam Ahmadiyah Berlin itu untuk 'memastikan' pandangan Ahmadiyah di kota besar Eropa tentang tiga hal. Pertama, apakah Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi atau bukan. Kedua, hujjah atau argumentasi kenabiannya. Ketiga,posisi dan fungsi kitab "Tadzkiroh".

Sejauh ini yang dimengerti oleh banyak kalangan di Indonesia, alasan kenabian Mirza Ghulan Ahmad adalah menyangkut "khataman-nabiyyin" atau penutup para Nabi. Menurut tafsir Ahmadiyah, kata "khatam" bukan bermakna "penutup" melainkan "cincin". Muhammad SAW adalah "cincin"nya para Nabi, semacam mutiara indah para Nabi. Argumentasi kedua menyangkut Hadits Nabi Muhammad SAW tentang pelaku hijrah yang terakhir, di mana Ulama Ahmadiyah berbeda pendapat dengan Ulama lain tentang salah satu kata dari kalimat Hadits itu.

Emha mengatakan Imam Ahmadiyah di Berlin itu menyatakan dengan tegas bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Argumentasi utamanya adalah kalau sesudah Muhammad SAW tidak ada Nabi, maka Nabi Isa tidak akan bisa turun lagi ke bumi sebagai Al-Masih atau Messiah atau Ratu Adil.

Akan tetapi dinyatakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad sama sekali tidak mengurangi kebesaran dan keagungan Nabi Muhammad SAW. "Justru Mirza Ghulam Ahmad diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan keagungan dan keindahan Rasulullah Muhammad SAW", kata Emha menirukan Abdel Basith Thariq (Imam Ahmadiyah di Berlin), "Muhammad adalah Maestro, Mirza Ghulam Ahmad hanya salah seorang murid beliau, pengagum beliau, pecinta beliau, sehingga kesungguhan cintanya membuat Allah memberinya wahyu dan mengangkatnya sebagai Nabi yang bertugas menyebarkan Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kitab Tadzkiroh adalah wahyu Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad yang dimaksudkan untuk menjunjung keindahan Al-Quran dan turut menyebarkan kebenaran dan keindahannya" .

Di bagian luar maupun dalam Masjid Khadija yang didirikan oleh Jemaat Ahmadiyah itu terdapat berbagai tanda dan tulisan-tulisan sebagaimana yang terdapat pada Masjid Ummat Islam pada umumnya: kaligrafi "Allah", "Muhammad", "Syahadatain" , nama-nama Khalifah Empat, Asmaul Husna, di bagian atap dalam Masjid tertulis ayat "Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub" (Niscaya dengan mengingat Allah-lah ketenangan hati didapatkan). "Semua yang saya kemukakan ini hanya report dan tidak ada opini saya sendiri", kata Emha.



Read More......

Selasa, 16 September 2008

Berita Nasional

Selasa, 16/09/2008 10:58 WIB

(Karena selama ini anggota Ahmadiyah naik hajinya ke Mekkah, FPI demo Kedubes Arab Saudi)

Demo Kedubes Arab Saudi, FPI Minta Ahmadiyah Tak Dihajikan

Novia Chandra Dewi - detikNews

Jakarta - Iring-iringan 15 motor dan 1 mobil pick up penuh stereo set rombongan Front Pembela Islam (FPI) tiba di Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi. Massa FPI meminta jemaat Ahmadiyah tak diizinkan beribadah haji.

Sebanyak 50 anggota FPI datang dari markasnya di Petamburan, Jakarta Barat ke Kedubes Arab Saudi, Jalan MT Haryono, Jakarta, Selasa (16/9/2008) pukul 10.00 WIB.

"Kita memprotes orang-orang Ahmadiyah untuk berangkat haji. Karena kuota kaum muslim diganti dengan kaum Ahmadiyah," ujar Ustad H Jafar Sidik dalam orasinya.

Mereka juga meminta pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mencekal jemaat Ahmadiyah.

"Kami meminta mencekal anggota Ahmadiyah yang sudah mendaftarkan haji dan tidak memberikan visa buat mereka. Supaya mereka tidak menginjak kota Mekah dan Madinah," teriak Jafar yang langsung disambut teriakan takbir para anggotanya.

Tak hanya itu, mereka juga membagi-bagikan selebaran yang berisi tuntutannya. Dalam selebaran itu, mereka juga memprotes berangkatnya anggota Komisi VIII Theodorus JK, yang nonmuslim, memantau pelaksanaan haji di Arab Saudi pada tahun 2005.

Para anggota FPI yang berdiri di pagar Kedubes Arab Saudi dikawal 50 personel kepolisian dan petugas keamanan dalam dari Kedubes. Demo ini menutup 1 lajur dari 3 lajur ke arah Kuningan, sehingga lalu lintas tersendat.(nwk/ asy)
http://www.detiknew s.com/read/ 2008/09/16/ 105841/1006952/ 10/demo-kedubes- arab-saudi, -fpi-minta- ahmadiyah- tak-dihajikan



Read More......

Opini Islam

KONFERENSI DUNIA

Sambutan Raja Abdullah bin Abdulaziz

(Konferensi Dunia tentang Dialog)


Madrid – Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, yang telah mewahyukan dalam
Kitab Suci-Nya: "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling bertakwa."


Damai dan rahmat atas Nabi Muhammad dan atas seluruh nabi dan rasul.

Yang Mulia, sahabatku, Juan Carlos, Raja Spanyol:

Sahabat-sahabat yang terhormat: Selamat datang, dan saya ucapkan
terima kasih kepada Anda yang telah menjawab undangan kami dan hadir
dalam dialog ini. Saya menghargai segala upaya yang anda lakukan
dalam melayani kemanusiaan. Saya haturkan penghargaan setinggi-
tingginya kepada sahabat-sahabat saya, Yang Mulia Raja Juan Carlos
dan Kerajaan Spanyol, serta rakyatnya yang penuh keramahan menyambut
berkumpulnya kita dalam konferensi ini di tanah air mereka, sebuah
wilayah yang memiliki warisan bersejarah dan peradaban di antara umat-
umat beragama, dan yang telah menjadi saksi koeksistensi antara
rakyat dari berbagai suku bangsa, agama, dan kebudayaan, dan yang
memberi sumbangan, bersama peradaban-peradaban lain, bagi kemajuan
umat manusia.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: saya datang kepada Anda dari tempat
yang dekat dengan hati semua Muslim, tanah tempat Dua Masjid Suci,
membawa sebuah pesan dari dunia Islam, yang mewakili para sarjana dan
pemikirnya yang belum lama ini bertemu dalam lingkup Baitullah. Pesan
ini menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang tidak berlebih-
lebihan dan bertenggang rasa; sebuah pesan yang menyerukan bagi
dialog konstruktif di antara umat beragama; sebuah pesan yang
berjanji membuka sebuah halaman baru bagi umat manusia yang di
dalamnya – Insya Allah – musyawarah akan menggantikan konflik.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Kita semua percaya pada Tuhan yang
Maha Esa, yang mengirimkan para utusan-Nya demi kebaikan umat manusia
di dunia ini dan akhirat nanti. Sudah kehendak-Nya, Maha Besar Allah,
bahwa manusia harus berbeda dalam keyakinan. Jika Allah Yang Maha
Kuasa berkehendak, semua manusia akan memiliki agama yang sama. Kita
bertemu hari ini untuk menegaskan bahwa agama-agama yang dikehendaki
Allah Yang Maha Kuasa demi kebahagiaan umat seharusnya menjadi sarana
untuk memastikan terwujudnya kebahagiaan itu.

Karena itu wajib hukumnya bagi kita untuk menyatakan kepada dunia
bahwa perbedaan tidak harus menyebabkan konflik dan konfrontasi, dan
untuk menyatakan bahwa tragedi-tragedi yang telah terjadi dalam
sejarah manusia tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi merupakan
akibat dari ekstremisme yang sebagian umat dari setiap agama ilahiah,
dan dari setiap ideologi politik, telah pernah mengalaminya.

Umat manusia dewasa ini sedang menderita akibat hilangnya nilai-nilai
dan kerancuan konseptual, dan sedang melalui sebuah tahapan kritis di
mana, terlepas dari segala kemajuan ilmu pengetahuan yang ada, kita
sedang menyaksikan berkembang biaknya kejahatan, meningkatnya
terorisme, terpecahnya keluarga, pemberontakan pikiran-pikiran kaum
muda akibat penyalahgunaan obat-obatan, pemerasan yang lemah oleh
yang kuat, dan kecenderungan- kecenderungan rasis penuh kebencian. Ini
semua merupakan akibat dari kekosongan spiritual yang diderita orang
karena mereka melupakan Tuhan, dan Tuhan menyebabkan mereka melupakan
diri mereka sendiri. Tidak ada penyelesaian bagi kita selain
menyepakati sebuah kesatuan pendekatan, melalui dialog di antara
agama dan peradaban.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Kebanyakan dialog di masa lalu
gagal karena mereka telah terpuruk menjadi tempat saling menuding
yang memusatkan perhatiannya pada perbedaan-perbedaan yang ada dan
melebih-lebihkannya ; dengan upaya-upaya mandul yang justru semakin
memperburuk dan bukannya meredakan ketegangan, atau karena mereka
mencoba untuk mencampurkan agama dan keyakinan dengan alasan untuk
mempererat persatuan mereka.

Ini adalah sebuah upaya yang sama-sama tidak akan membuahkan hasil
karena umat tiap-tiap agama memiliki iman yang teguh terhadap
keyakinan mereka masing-masing, dan tidak akan menerima pilihan lain
yang ditawarkan. Jika kita ingin pertemuan bersejarah ini berhasil,
kita harus memusatkan perhatian pada persamaan-persamaan yang
menyatukan kita, yaitu iman yang kuat kepada Tuhan, prinsip-prinsip
yang mulia, dan nilai-nilai moral yang tinggi, yang merupakan
intisari agama.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Manusia dapat menjadi penyebab
kehancuran planet ini dan semua yang ada di dalamnya. Tapi manusia
juga mampu mengubahnya menjadi sebuah oasis perdamaian dan ketenangan
tempat para umat berbagai agama, keyakinan, dan filosofi dapat hidup
berdampingan, dan orang dapat bekerja sama satu dengan yang lain
dalam sikap saling menghormati, dan mengatasi berbagai permasalahan
melalui dialog, bukan kekerasan.

Manusia juga mampu – dengan rahmat Allah – memusnahkan kebencian
dengan cinta, dan kemunafikan dengan toleransi, yang dengan demikian
memungkinkan semua umat manusia menikmati martabat yang telah
dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada mereka semua.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Marilah kita jadikan dialog kita
sebagai sebuah kemenangan keyakinan atas ketidakyakinan, kebajikan
atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan, perdamaian atas konflik
dan perang, dan persaudaraan manusia atas rasisme.

Karena itu, bersama Tuhan kita memulai, dan kepada-Nya kita memohon
pertolongan. Saya mengulurkan sambutan dan menghaturkan penghargaan
tulus saya kepada Anda semua.

Terima kasih dan damai bagi kita.

* Raja Abdullah bin Abdulaziz adalah Raja Kerajaan Arab Saudi.
Konferensi Dunia tentang Dialog berlangsung di Madrid pada 16-18 Juli
2008.

**Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground
(CGNews) dan dapat dibaca



Read More......

Opini Islam

Rasulullah SAW Teladan Praksis Kesederhanaan
Oleh : Hdh. Mirza Masroor Ahmad

Rasulullah SAW telah memberikan ajaran bahwa janganlah menganggap barang-barang materiil itu segalanya. Kesenangan dan barang-barang yang baik di dunia adalah untuk manfaat kita dan kita harus mengambil manfaatnya. Tetapi juga harus diingat bahwa semuanya untuk mencari ridha Allah. Jika ingin memperoleh ridha Allah maka harus menjalani hidup sederhana dan mendapatkan serta merasakan kepuasan hati yang merupakan jalan untuk meraih kesenangan dan ridha Allah Taala tersebut. Ini adalah cara untuk memperoleh kedekatan kepada Allah. Jadi jika kamu sedang sibuk dan bersemangat dalam mencari kesenangan duniawi serta melupakan tugas terhadap Allah, maka sedikit demi sedikit yang demikian itu akan menjadi sembahan dan dambaanmu.
Allah Taala berfirman Kami telah berikan kepadamu barang yang baik-baik dari dunia ini sehingga Kami dapat mengujinya. Barang-barang keperluan dari Tuhan adalah yang terbaik dan itulah yang akan berlangsung lama.

Jadi, Allah berfirman janganlah kalian menganggap bahwa semua keperluan barang duniawi dan barang-barang materil itu di atas segalanya dan janganlah melihat barang tersebut sebagai godaan yang sedemikian bahwa hal itu adalah anugerah yang besar. Adalah memang benar bahwa barang-barang itu merupakan sebuah anugerah dan Allah telah menciptakan barang-barang materil ini, tetapi keridhaan Tuhan itulah yang harus diutamakan di dalam pikiran kalian. Kalau tidak begitu, maka anugerah tersebut akan membawamu menjauh dari Tuhan. Kemudian barang-barang ini tidak lagi menjadi anugerah namun menjadi satu kutukan. Oleh karena itu dikatakan bahwa kalian harus berusaha dan mencari untuk perbekalan dari Allah. Untuk menerangkannya apa yang dinamakan perbekalan dari Tuhan itu? Yaitu untuk membungkukkan diri di hadapan-Nya, untuk bersujud di depan-Nya dan menyerahkan diri kepada-Nya serta mengikuti ketakwaan. Standar yang tinggi inilah yang telah ditunjukkan dalam praktek YM. Rasulullah SAW dan yang telah beliau nasihatkan agar kita mengerjakannya.

Allah telah mengangkat Rasulullah SAW sebagai nabi pembawa syariat terakhir. Melalui beliaulah semua syariat kenabian itu tertutup. Tetapi dengan anugerah yang besar ini, YM. Rasulullah SAW tidak memperlihatkan sesuatu kekuasaannya. Dan dalam kehidupan beliau itu kami tidak melihat dipertunjukkannya mahkota dan kekuasaan. Tetapi beliau menciptakan kesederhanaan dan rasa kepuasan hati di dalam kehidupannya. Karena beliau benar-benar mengerti akan perintah-perintah dari Allah dan hukum syariat yang diturunkan kepada beliau. Dengan bekerja sesuai perintah tersebut, beliau saw menegakkan standard yang tinggi dalam hal kepuasan beliau di mana para pengikut beliau harus berusaha untuk mengikutinya. Sesuai perintah Allah beliau menerangkan kepada para pengikutnya tentang ajaran mana yang harus diikuti oleh mereka.
Kitab Suci Al-quran menyebutkannya di dalam Surah Al-Ankabut (29:55):

yang artinya:
Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan sendau gurau dan permainan. Dan sesungguhnya rumah di akhirat itulah kehidupan yang hakiki, seandainya mereka mengetahui.

Bahwa kehidupan di dunia ini adalah sebuah senda gurau dan permainan, tak ada lainnya di samping itu, kenyataannya, kehidupan sesungguhnya adalah kehidupan di akhirat itulah, jika mereka mengetahuinya. Jadi nabi harus memberitahukannya kepada orang lain juga tentang ajaran yang sudah diwahykan ini. Beritahukan kepada pengikut-mu bahwa dunia ini tidak lain hanyalah sport dan permainan, dan kalian harus memikirkan kehidupan akhirat nanti. Kalian harus menggunakan barang materiil ini, tetapi jangan menjadikan barang materiil ini sebagai tujuan hidup kalian.
Hidup sederhana, perasaan puas dan mengingat Allah itulah yang akan bermanfaat dan akan memperoleh berkat-berkat Allah. Bukannya melibatkan diri dalam senda gurau dan permainan ini serta menuruti kehidupan kesenangan duniawi, adalah baik jika dapat bekerja berdasarkan perintah dari Allah dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Jadi, inilah ajaran yang diberikan oleh YM. Rasulullah SAW kepada kita. Orang yang memberikan ajaran ini kepada kita, yang standard ketakwaannya sangat istimewa dan beliau SAW adalah nabi pembawa syariat Tuhan yang terakhir, yang Anda dapat lihat betapa bagus contoh karakternya ini. Dalam berbagai aspek dari kehidupan beliau SAW, maka hal ini selalu menjadi perhatiannya. Di rumahnya, beliau tinggal dengan amat sederhana sekali, sedemikian rupa sehingga andak-anak di dalam rumah pun menjadi amat terkesan, Dua dari cucu beliau tercinta tidak pernah memiliki perasaan bahwa mereka itu adalah cucu dari seseorang yang bahkan para pengikutnya tidak akan membiarkan air bekas mengambil wudhunya jatuh terbuang sia-sia, sehingga kita harus hidup seperti princes anak-anak raja. YM. Rasulullah SAW dengan cara prakteknya menanamkan kepada anak-anak yang ada di dalam rumah beliau selalu hidup dalam kesederhanaan dan kemiskinan, dan inilah yang memberikan kepada saudara kebesaran.
Dikatakan bahwa Hussein bin Ali r.a. berkata bahwa ada orang-orang yang jika menunjukkan kecintaannya mereka biasa mengutarakan cintanya kepada kami, tetapi hanya kecintaan islami, karena Utusan dari Allah ini biasa bersabda janganlah meninggikan saya lebih dari apa yang menjadi hak saya, karena Allah telah menciptakan saya terlebih dahulu dan baru kemudian Allah mengangkat kami sebagai Rasul. Inilah training yang dengan praktek yang diberikan kepada sanak saudaranya di rumah serta menjelaskan kepada mereka dan memperlihatkan dalam praktek sehari-harinya bahwa saya adalah seorang hamba Tuhan yang rendah. Dengan tingginya standard dari ibadah, Allah telah memberikan kepadaku kedudukan kedekatan kepada-Nya. Kita juga harus terus mengikuti kehidupan yang bersahaja ini, kerendahan hati dan kemiskinan. Kemudian Allah juga akan memperlihatkan kepadamu jalan untuk ke kedekatan pada-Nya. Satu kali beliau saw bersabda bahwa saya adalah seorang pemimpin umat manusia, tetapi saya tidak ada kebanggaan dari itu.

Hadhrat Hussein r.a. telah menyebutkan satu hal dari tradisi bahwa Hadhrat Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa beliau mendengar Hadhrat Omar menyampaikan hadits ini di atas mimbar bahwa saya mendengar YM. Rasulullah SAW bersabda bahwa jangan memberikan pujian kepada saya secara berlebih-lebihan, seperti halnya orang-orang Kristiani lakukan untuk Ibnu Maryam, saya hanyalah seorang hamba Allah wa qulu Abdullahi wa Rasulihi maka katakanlah kepada saya bahwa saya itu adalah hamba Tuhan dan Rasul-Nya. Dengan kerendahannya ini dan kehidupannya yang bersahaja ini maka akibatnya ialah jika ada orang asing atau pendatang baru di mana beliau duduk bersama-sama maka mereka tidak mengetahui yang mana Rasulullah SAW itu, karena beliau biasa membuat pertemuan itu sederhana dan informal, sehingga pendatang baru ini tidak dapat mengenalinya. Dikatakan bahwa dalam pertemuan yang sedemikian itu, ketika YM. Rasulullah SAW setelahnya hijrah sampai Medinah, ditengah hari dengan sinar matahari yang panas. YM. Rasulullah SAW duduk dibawah bayangan sebuah pohon dan orang-orang dalam jumlah yang banyak datang menjumpai beliau. Hadhrat Abubakar juga ada bersama beliau SAW yang umurnya sepantar. Orang-orang Medinah mengatkan bahwa mereka tidak pernah melihat YM. Rasulullah SAW sebelumnya. Karena Hadhrat Abubakar duduk dekat beliau, maka mereka tidak dapat membedaknnya, beliau adalah begitu bersahaja dan merendah sehingga orang-orang mengira bahwa Abubakar itulah yang Rasulullah SAW. Ketika Abubakar menyadarinya maka beliau berdiri dan menaungi YM. Rasulullah SAW yang dengan itu mereka dapat menyadari yang mana YM. Rasulullah SAW itu.
Ada lagi riwayat dari Sharif bin Abdullah yang menyampaikan bahwa saya mendengar Anas bin Malik menyatakan bahwa satu kali kami duduk bersama YM. Rasulullah SAW di dalam mesjid. Seseorang yang menunggang unta datang, ia mengikatkan untanya ke mesjid dan berkata siapakah yang Muhammad di antara kalian? YM. Rasulullah SAW sedang duduk bersandarkan bantal, kita katakan bahwa orang yang berkulit cerah dan duduk bersandarkan bantal adalah ia itu. Ia berkata lagi apakah Anda anak dari Abdul Mutalib? YM. Rasulullah SAW menjawab ya. Ia berkata selanjutnya bahwa saya akan bertanya kepada Anda dengan pertanyaan-pertanyaan yang keras, apakah Anda tidak akan merasa tersinggung? YM. Rasulullah SAW berkata Anda boleh menanyakan apa saja yang kamu suka. Orang asing ini berkata bahwa saya sudah menyebutkan hidup yang sederhana, tetapi biarlah saya menyampaikannya kepada Anda. Ia bertanya, dengan bersumpah kepada Allah, saya bertanya apakah Allah telah mengutus Anda kepada orang-orang? Rasulullah SAW bersabda: ya. Kemudian ia berkata saya bertanya kepada Anda dengan sumpah apakah Anda itu shalat dalam hari-hari dan juga berpuasa? Rasulullah SAW berkata: ya. Kemudian ia berkata di atas sumpah saya bertanya kepada Anda bahwa barang siapa yang kaya Anda harus mengambil zakat dari mereka dan membagikannya di antara orang yang miskin? YM. Rasulullah SAW bersabda: ya. Ia berkata, ajaran apa pun yang Anda bawa saya mempercayainya dan saya adalah wakil dari Bangsa bin Bakar, saya adalah saudaranya dan saya mewakili beliau; saya mempercayai Anda.
Jadi masyarakat yang bersahaja dan informal itulah YM Rasulullah saw bersama para sahabat beliau SAW. YM. Rasulullah SAW menunjukkan dengan perbuatan dan memberikan contoh untuk kita semua, yaitu untuk memperbaiki standar hidup kita dan bukan hanya untuk didengarkan sebagai cerita dongengan saja.






Read More......

Opini Islam

Menyemai Islam yang Indonesiawi

OLEH: ZUHAIRI MISRAWI

Intelektual Muda NU, Alumnus Universitas al-Azhar Kairo- Mesir; Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris; dan Pimred Jurnal PERSPEKTIF PROGRESIF.
FASILITAS

Ledakan bom di Kramat Jati, Jakarta Timur, beberapa hari lalu menyisakan kegelisahan. Kendatipun bom yang diledakkan M Nuh masuk dalam kategori kecil, peristiwa tersebut tetap merupakan pesan dan simbol anti-Amerika.
Pertanyaannya, apakah sikap ekstrem dengan merakit dan meledakkan bom di tempat-tempat umum, yang memakan korban sebagian besar adalah umat seagama dan sebangsa, dapat dibenarkan?

Tentu saja, secara otomatis kita semua akan memberikan jawaban bahwa tidak sepatutnya seorang yang memahami ajaran agama dengan baik dan benar melakukan tindakan teror dan aksi kekerasan lainnya.
Masalah utama yang perlu mendapat perhatian dari pelbagai pihak adalah fenomena menguatnya ekstremisme. Khaled Abou el-Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists menuturkan bahwa gerakan ekstremis yang berbasis agama makin menguat. Kendatipun jumlah mereka relatif sedikit, tetapi mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Moderatisme vs ekstremisme
Secara sosiologis, sikap ekstrem yang dilakukan oleh sebagian kelompok tidak semata-mata merupakan dorongan agama, melainkan mempunyai akar-akar sosiologis. Yang paling kentara adalah faktor modernitas yang melahirkan pseudoliberalisasi, yaitu liberalisasi yang makin menyengsarakan rakyat. Ada agenda tersembunyi di balik liberalisasi yang tidak sejalan dengan visi dan misi agama untuk pembebasan dan keberpihakan terhadap mereka yang miskin. Karena itu, menurut Khaled, sikap ekstremis merupakan sebuah sikap perlawanan terhadap modernitas.
Di samping itu, munculnya ekstremisme berkaitan dengan arus besar indoktrinisasi faham keagamaan yang bernuansa kekerasan, seperti faham bunuh diri dan terorisme. Di era teknologi ini, pengaruh-pengaruh luar amat mudah diakses oleh publik di Tanah Air. Akibatnya, faham keagamaan yang bernuansa kekerasan makin mudah memengaruhi mereka yang tidak mempunyai faham keagamaan yang mendalam.
Di sini dalam konteks keindonesiaan diperlukan pemikiran besar, terutama dalam rangka merancang-bangun keberagamaan moderat yang bersumber dari teks-teks keagamaan yang mampu menyesuaikan diri dengan konteks dan lokalitas. Faham keagamaan yang mempunyai orientasi pada kemanusiaan dan moralitas.
Muhammad Thahir bin ’Asyur dalam Maqâshid al-Syarî'ah menyatakan bahwa upaya mewujudkan kehidupan yang adil dan damai merupakan tujuan utama dari agama, terutama Islam.
Dalam hal ini, praktik keagamaan kalangan Muslim Indonesia sesungguhnya mempunyai keistimewaan tersendiri dalam rangka membangun keberagamaan yang moderat, serta menolak ekstremisme. Adanya kontrak politik di antara umat Muslim dengan umat-umat agama lain dalam Pancasila dan UUD 1945 menunjukkan salah satu bukti kuatnya sikap moderat, terutama dalam rangka membangun kebersamaan di tengah kebhinnekaan. Di sinilah masyarakat Muslim Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, terutama bila dibandingkan dengan masyarakat Muslim di negara lainnya.
Karenanya, sikap moderat mempunyai tujuan yang amat mulia untuk membangun toleransi dan kebersamaan. Tentu saja, yang masih harus diperjuangkan secara terus-menerus adalah memperkecil volume kebencian dan kekerasan antara sesama anak bangsa.
Indonesiawi
Dalam konteks kebangsaan, kita semua mempunyai tanggung jawab yang amat berat agar capaian-capaian yang telah diraih oleh para pendiri bangsa ini dapat terus dipelihara. Di sinilah arti penting prinsip, menjaga masa lalu yang sudah baik, dan mengambil hal-hal masa kini yang lebih baik. Khazanah masa lalu berupa keislaman yang indonesiawi sebagaimana diwariskan para pendahulu kita harus dijadikan sebagai modal untuk mempererat kebangsaan dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Dalam kurun waktu yang cukup panjang, bangsa ini bisa hidup damai dalam kebhinnekaan. Karena itu, jalan untuk menyemai hidup damai dalam pluralitas tersebut adalah mengembangkan faham keagamaan yang bernuansa moderatisme dan mengubur faham keagamaan yang bernuansa ekstremisme. Apalagi sebagian besar, kalangan Muslim Indonesia, adalah moderat, maka modal ke arah itu sangat besar. www.kompas.com
http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=558



Read More......

Opini Islam

Menggagas Dakwah Progresif

Oleh: Muhtadin AR

Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta 

Kasus Yusnari Yosra, seorang khotib Jum’at di masjid DPRD DKI Jakarta, dalam khutbahnya sebulan lalu (25/8) menghina Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), dan kemudian oleh jamaah jum’at dipaksa untuk menghentikan khutbahnya, adalah satu di antara ribuan kasus yang akhir-akhir ini sering kita jumpai dalam khutbah jum’at, maupun ceramah-ceramah agama.
Di banyak masjid, baik di wilayah Jakarta dan sekitarnya, maupun dibeberapa kota besar di Indonesia, seringkali kita jumpai khutbah yang isinya hanya menghujat, menyalahkan, menjelek-jelekkan, bahkan menghakimi orang atau kelompok lain sebagai orang dan kelompok yang sesat, murtad, dilaknat, dan segenap cap buruk lainnya.
Keadaan demikian, tentu sangat memprihatinkan. Pertama, mimbar khutbah yang sesungguhnya adalah tempat untuk menyampaikan pesan takwa dan keluhuran ajaran agama, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk menggunjing, bahkan memfitnah orang atau kelompok yang berbeda.

Kedua, sebagai sesama muslim kita telah kehilangan etika dan tata krama. Bayangkan, jika di majelis jum’at yang disucikan dan semua orang sedang beribadah, bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah, sang khotib berani mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas, lalu bagaimana jika di tempat-tempat umum.? Padahal jelas disebutkan dalam hadits Nabi, bahwa orang yang beriman hendaknya berbicara dengan baik, sopan dan santun. Dan kalau tidak bisa, lebih baik diam.
Ketiga, dengan isi khutbah semacam itu, secara tidak langsung berarti kita (para jamaah jum’at) telah diarahkan sang khotib untuk menolak keragaman dan menghargai setiap perbedaan. Padahal dalam al-Qur’an jelas disebutkan bahwa, Allah menciptakan isi bumi ini beragam, tidak satu. Ada laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku (lihat: QS. Al-Hujurat [49]:13).
Model khutbah semacam ini jika terus dikembangkan para khotib tentu tidak sehat. Bukan saja karena bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam dari para jamaah atas informasi yang disampaikan, tetapi juga merusak citra Islam itu sendiri. Di satu sisi, kehadiran Islam yang sesungguhnya ingin menjadi fasilitator dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan ‘liyukhrijahum min al dzulumati ila al nur’ (agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kegelapan), tidak akan pernah sampai ke masyarakat karena memang tidak pernah disampaikan. Sang khotib lebih suka dengan pembahasan yang berisi tentang ‘orang lain’.
Misalnya, tentang pesan luhur agama akan pentingnya menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling kongkrit di masyarakat. Pembahasan semacam ini nyaris tidak pernah kita dengar dalam khutbah jum’at. Padahal banyak sekali ayat al-Qur’an dan juga Hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil, menentang kedzaliman dan mengentaskan kemiskinan.
Kemudian juga tentang cara atau metode menyampaikan gagasan. Menurut hemat saya, metode yang dipakai para khotib belakangan ini sangat jauh dari akhlak Islam yang santun dan sangat menghargai keragaman. Dalam Al-Qur’an misalnya disebutkan, dakwah hendaknya disampaikan dengan perkataan-perkataan yang bijak serta pelajaran yang baik (lihat: QS. An-Nahl [16]: 125). Tetapi apa yang kita dapati di mimbar-mimbar jum’at, seringkali khotib itu menyampaikan khutbahnya dengan nada tinggi dan emosi yang meledak-ledak. Menjelek-jelekkan orang, dan menganggap yang lain, yang tidak seide sebagai musuh yang harus dijauhi dan diperangi.
Menghadapi kenyataan demikian, lalu apa yang mesti kita lakukan.? Setidaknya ada dua hal. Pertama, kita harus menyeru dan kembali pada fungsi dan tujuan dari disyariatkannya ibadah shalat jum’at itu sendiri. Dalam kitab Al Fiqh ‘Ala Madzahib al Arba’ah karya Abdurrahman Al Jazyri misalnya disebutkan, tujuan dari shalat jum’at adalah agar sesama umat muslim bisa saling bertemu dalam satu tempat, sehingga masing-masing jamaah bisa saling mengetahui kondisinya, yang kaya bisa berderma kepada yang miskin, yang besar bisa mengasihi kepada yang kecil, dan sadar bahwa semua adalah hamba Allah. (lihat: Juz I hlm. 331).
Dengan kembali kepada tujuan ini, kita berharap isi khutbah jum’at akan jauh lebih santun dan menyejukkan hati. Khutbah tidak lagi menggunjing orang lain, tetapi lebih fokus pada usaha menyampaikan pesan luhur agama, sehingga akhirnya bisa tercipta kasih sayang diantara sesama jamaah jum’at, sesama umat muslim yang berjum’atan di tempat lain, dan utamanya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini.
Kedua, meningkatkan tabayyun (klarifikasi) diantara sesama umat muslim. Saya percaya, bahwa semua yang dipercaya menjadi khotib jum’at adalah orang-orang terpilih. Mereka tidak saja tokoh dilingkungannya masing-masing, tetapi juga adalah orang-orang yang cakap pengetahuan agamanya, dan bisa menjadi suri tauladan. Dengan melakukan kajian mendalam dan tabayyun terlebih dahulu terhadap suatu masalah yang akan disampaikan kepada jamaah, niscaya jamaah juga akan mendapati informasi valid, yang sifatnya tidak menggunjing orang lain, terlebih memfitnah.
Dalam al-Qur’an misalnya disebutkan, “janganlah diantara kamu sekalian menggunjing sebagian yang lain” (lihat: QS. Al-Hujurat [49]: 12). Artinya, dengan isi khutbah yang ‘membicarakan’ orang lain, maka jika benar isi pembicaraan itu disebut sebagai perbuatan menggunjing, dan jika isinya tidak benar disebut sebagai fitnah. Baik menggunjing maupun memfitnah, keduanya sama-sama dilarang dalam agama.
Karenanyalah, kita perlu menggagas pentingnya sebuah konsep dakwah yang membebaskan dan mencerahkan masyarakat. Ini penting karena pesan luhur agama itu hanya bisa diterima dan dicerna masyarakat dengan baik jika sang juru dakwah mampu menerjemahkan pesan agama itu dengan baik pula. Tanpa adanya penerjemahan melalui penalaran akal budi yang baik, maka agama juga hanya akan dijalankan secara letterlijk, kaku, keras, menakutkan bagi yang lain, dan tidak mampu memberikan efek positif bagi pengikutnya, karena memang disampaikan seperti itu.
Dakwah semacam ini akan semakin menemukan relevansinya setidaknya karena dua hal. Pertama, dakwah yang selama ini ada, banyak dilakukan secara agresif, bahkan sangat agresif. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan Nabi Muhammad saw. agar tidak melakukan dakwah model ini. Disebutkan: Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan (QS. Hud [11]:12); Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang buta agama (ummi): ‘Maukah kalian masuk Islam’. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. (QS. Al-Imron [3]:20).
Kedua, model dakwah sekarang ini menurut saya terlalu keras dan tidak menukik pada substansi ajaran agama, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri.
Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya didakwahkan dan kemudian dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka. Padahal, praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Hilangnya spirit keadilan ini pulalah yang menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak. Dan inilah pentingnya kita menggagas dakwah yang progresif. Dakwah yang tidak hanya membicarakan perbuatan orang lain, tetapi dakwah yang mampu memberi spirit umat muslim untuk menjadi muslim yang unggul, berkualitas dan kaffah. Wallahu a’lam. []
http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=545




Read More......

Opini Islam

Koran Tempo, Selasa, 22 April 2008

Mohon Maaf, Ahmadiyah

Masykurudin Hafidz
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami memasukkan keyakinan dan keberadaan Anda sebagai persoalan besar yang mengancam negeri ini. Daripada kemiskinan, kelaparan, kenaikan harga bahan pokok, serta biaya pendidikan yang makin mahal, kami lebih suka memilih Anda sebagai sasaran pekerjaan. Keseriusan kami semata-mata karena ini menyangkut keyakinan; sesuatu yang sangat prinsipil bagi setiap umat manusia.

Bertahun-tahun kami dikondisikan untuk selalu curiga terhadap lain keyakinan. Ibarat musuh dalam selimut, ia lebih berbahaya karena bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Kami tidak terbiasa untuk terbuka dan mempelajari dengan serius sistem keyakinan lain tanpa harus takut terpengaruh karenanya. Sebagai mayoritas, justru yang kami lakukan adalah membuat Anda merasa tidak aman, tidak nyaman dan tidak bebas menjalankan ibadah serta kegiatan sehari-hari.

Memangnya kenapa kalau kebebasan Anda untuk beribadah kami ambil alih? Kami ini sangat sensitif terhadap agama di luar agama resmi sehingga selalu berusaha untuk melarang dan menutup tempat ibadah Anda. Kami merasa berhak untuk menentukan status keyakinan Anda. Apa yang kami hakimi sebagai sesat, itu berarti kami boleh menghilangkan hak sebagai warga dalam mendapatkan perlindungan di negeri ini.

Kami menutup mata terhadap sumbangan Anda kepada kemanusiaan (humanity first). Jaringan yang sangat luas tersebar di belahan bumi membuat Anda mampu menyalurkan bantuan terhadap kemiskinan, pendidikan, dan korban bencana. Di Indonesia, jumlah anggota organisasi Anda yang hanya lima ratus ribu sanggup mengumpulkan puluhan miliar setiap tahun. Anda juga punya televisi yang berpusat di Inggris sehingga dunia dapat melihat bahwa Indonesia adalah negeri yang damai, terbuka dan kondusif untuk investasi.

Tetapi inilah kami. Kesepakatan kita bahwa di negara ini tidak ada yang boleh didiskriminasi tiba-tiba kami ingkari. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak lagi kami jadikan sabuk pengaman bagi integrasi bangsa. Negara sebagai penjamin atas hak-hak bagi setiap warga, termasuk Anda, lalai dan sengaja membiarkan saat Anda menjadi sasaran kesewenang-wenangan .

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak bisa menerima perbedaan. Kami tidak menganut pluralisme karena paham itu datang dari luar. Kami punya keyakinan sendiri yang sesuai dengan ajaran kami. Kami bisa melakukan larangan dan melakukan tindakan kekerasan jika tidak sesuai dengan keyakinan kami. Tuhan pasti berada di pihak kami karena kami yang paling benar. Kami adalah khalifah Tuhan yang diperintah untuk meluruskan keyakinan Anda.

Tidak bisa kami menghentikan perhatian terhadap masalah perbedaan keyakinan karena hal itu menjadi faktor yang membuat bangsa ini dalam bahaya. Kami lupa bahwa negeri ini adalah salah satu negeri paling plural di dunia sehingga kesatuan akan tumbuh jika masing-masing keyakinan dihormati. Persatuan Indonesia yang menuntut bahwa setiap orang berhak beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, entah itu sesuai atau tidak dengan keyakinan yang lain, tiba-tiba kami singkirkan.

Itulah kenapa kami menyerang masjid-masjid tempat Anda beribadah. Padahal ajaran kami mengatakan, kami tidak boleh menyakiti orang lain tanpa alasan apa pun. Tidak boleh menyerang orang lain kecuali sekadar mempertahankan diri. Bahkan ketika orang lain menyerang kami tiba-tiba meminta perlindungan, wajib hukumnya bagi kami untuk melindunginya.

Perlindungan terhadap orang lain tanpa memandang keyakinan sering kali kami temui dalam ajaran kami. Kami masih ingat saat Rasulullah Muhammad menerima para tamu yang datang dari kelompok yang berkeyakinan lain di masjid Madinah. Saat rombongan tersebut meminta izin keluar untuk melakukan kebaktian justru Rasulullah mempersilakan untuk beribadah di Masjid Nabawi. Masjid justru digunakan untuk menerima dan membangun toleransi antaragama.

Bahkan dengan sangat tegas Rasulullah menjamin jiwa, harta, dan agama para penganut keyakinan di luar keyakinannya. Ia mendeklarasikan Piagam Madinah sebagai undang-undang bersama untuk hidup berdampingan secara damai dan toleran. Kami tahu, di dalam piagam tersebut dijelaskan bahwa masyarakat yang hidup di Madinah saat itu, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen, disebut sebagai satu umat (ummatan wahidah). Isi piagam tersebut juga memuat untuk mengemban tanggung jawab yang sama dalam menghadapi tantangan dari luar. Tidak boleh ada diskriminasi, siapa pun yang berada di Madinah harus dilindungi serta tidak boleh ada yang terluka, apa pun keyakinannya, bagaimanapun latar belakangnya.

Di negeri tercinta ini, kami juga mengerti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 kita menegaskan bahwa jaminan konstitusional tentang hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, untuk beragama, untuk tidak diperbudak, dan untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Demikian pula, kami tahu bahwa bangsa ini telah menjadi bagian dari masyarakat internasional yang meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Bahkan bangsa ini juga sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Kedua ketentuan tersebut menegaskan jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Namun, ajaran dan teladan Rasulullah begitu jauh dari kami. Tidak perlu ada kesesuaian ajaran dan undang-undang dengan tindakan sehari-hari. Juga kesepakatan kita dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini tiba-tiba seperti angin lalu. Tugas kami sebagai pengayom seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi kami abaikan. Kami diam saja, bahkan ikut menyuburkan praktek diskriminasi dan penafian atas hak-hak kebebasan berkeyakinan. Padahal, itu hak paling asasi yang dianugerahkan Tuhan. Semangat kebangsaan kami memang sedang defisit. Kami gampang terpengaruh oleh isu-isu murahan dan sentimental.

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak mampu melindungi Anda. Kami tidak bisa menjamin jika suatu saat rumah atau masjid Anda akan diserang. Sekali lagi, mohon maaf.


Read More......

Opini Islam

Mengadili Iman, Memberangus Keyakinan


Terkait dengan fatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, masjid milik jemaah Ahmadiyah dibakar massa. Sejumlah fasilitas milik mereka juga dirusak. Di Istana, debat seru terjadi di antara para penasihat presiden. Dari soal keyakinan, soal Ahmadiyah, lalu masuk ranah politik.

Dimulai selepas salat Jumat, rapat itu berakhir petang hari. Dua pekan lalu itu, Dewan Pertimbangan Presiden menggelar rapat di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Ini acara rutin, yang biasanya digelar dua kali sepekan. Rapat dibuka Ali Alatas, ketua dewan itu.

Di atas meja tersaji teh hangat dan jajan pasar. Delapan anggota Dewan tekun menyimak kata pembuka dari Alex, begitu Ali Alatas biasa disapa. Adnan Buyung Nasution, yang menangani bidang hukum, datang terlambat karena sakit.

Seperti rapat rutin lainnya, setiap anggota Dewan bergiliran bicara sesuai dengan bidang masing-masing. Dari pertahanan, ekonomi, politik, hingga agama. Sampai di situ semua masih terlihat rutin.


Suasana mulai mendidih ketika giliran Buyung tiba. Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu langsung bicara soal Ahmadiyah. Buyung meminta Dewan Pertimbangan memberi rekomendasi kepada Presiden agar menolak pembubaran Ahmadiyah.


Ma’ruf Amin, yang duduk di sebelah Buyung, langsung memberi tanggapan. Dia menentang keras usul itu. Keduanya lalu berdebat. ”Pokoknya, alot dan kencang,” kata sumber Tempo yang hadir di sana.

Sejumlah anggota Dewan lain berusaha mencari jalan tengah tapi gagal. ”Yang satu bicara demokrasi, yang lain bicara keyakinan,” kata Subur Budi Santoso, anggota Dewan lainnya yang juga hadir dalam rapat itu.

Berdebat hingga petang, yang ditemui cuma jalan buntu. Sesudah itu, mereka perang kata-kata di muka umum. Kepada media massa, Buyung berkata, ”Semua anggota Dewan menolak pembubaran Ahmadiyah kecuali Ma’ruf Amin.”

Tapi Ma’ruf Amin membantah jika dikatakan bahwa Dewan telah mengeluarkan keputusan. Dia menegaskan, ”Kami belum memutuskan rekomendasi apa pun soal Ahmadiyah.”

Beberapa organisasi massa yang menolak Ahmadiyah malah menuduh Buyung ”main sendiri”. Munarman, kuasa hukum Forum Umat Islam yang menolak Ahmadiyah, menegaskan, ”Ini pembajakan Dewan Pertimbangan Presiden oleh Adnan Buyung.”
 
AKSI mendukung dan menolak Ahmadiyah kian tajam dua pekan terakhir. Tak seperti keyakinan umat Islam pada umumnya, aliran yang berhulu di Pakistan ini meyakini Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, sebagai Imam Mahdi.
Pengikut Ahmadiyah meyakini bahwa pada 1876 Mirza memperoleh ilham pertama dari Allah, saat dia berusia 40 tahun. Ketika itu ayahnya sedang terkulai koma. Ilham itu mengatakan ayah Mirza akan wafat setelah magrib dan itulah memang yang terjadi.

”Perintah Allah” itu terus berdatangan. Sejumlah ilham tersebut kemudian ditulis menjadi tazkirah, yang oleh sejumlah kalangan disebut sebagai kitab suci Ahmadiyah.

Tak hanya menerima ”wahyu”, Mirza juga pemikir yang rajin menulis di surat kabar. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Buku itu berisi pembelaan terhadap Islam dari serangan Barat. Oleh para pengikutnya, Mirza lalu dianggap mujadid.

Pengikutnya bertambah pesat. Sejumlah buku menyebutkan pada mulanya pengikut Mirza disebut Qadianiyah atau Mirzaiyah. Qadianiyah merujuk pada tempat Qadian, tempat tinggal Mirza dan Mirzaiyah merujuk pada namanya.

Nama itu kemudian berganti menjadi Ahmadiyah. Buku Ahmadiyah, Keyakinan yang Digugat, menyebutkan nama itu muncul ketika pemerintah Inggris, yang menjajah India, melakukan sensus penduduk, mewajibkan orang mencantumkan agamanya.

Di Indonesia, Ahmadiyah masuk pada 1924. Saat itu dua orang mubalig Ahmadiyah, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, tiba di Yogyakarta dan diizinkan berpidato dalam muktamar ke-13 Muhammadiyah. Tahun berikutnya, mubalig Ahmadiyah lainnya mendarat di Tapaktuan, Aceh, dan mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah ke seluruh Sumatera (lihat ”Sabda dari Qadian”).

Dalam perjalanannya, Ahmadiyah pecah menjadi dua: Qadian dan Lahore. Yang pertama tetap mengakui kenabian Mirza, sedangkan yang kedua menolaknya. Nama Lahore dipakai untuk menandai kelahiran kelompok ini di Lahore, Pakistan.

Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian bergabung dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Adapun kelompok Lahore bergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
 
MAJELIS Ulama Indonesia berkali-kali mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah, terutama mereka yang Qadiani. Pada 1980, majelis itu menilai Qadiani sebagai aliran sesat. Kelompok Lahore tidak disebut-sebut dalam fatwa itu.

Dalam fatwa Majelis yang terbit pada 2005, Lahore juga dinyatakan sesat. Pada tahun yang sama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat merekomendasikan agar pemerintah melarang Ahmadiyah dari seluruh wilayah hukum Indonesia. Tapi pemerintah belum bersikap atas aliran itu.

Sejak sikap anti-Ahmadiyah kian keras dua tahun terakhir, Departemen Agama memilih berdialog dengan petinggi Ahmadiyah, terutama dari aliran Qadiani. Petinggi aliran ini menyambut baik. Sepanjang 2007, dialog itu berlangsung tujuh kali.

Dari reli dialog itu kemudian disimpulkan bahwa pengikut Ahmadiyah ingin diterima sebagai bagian dari komunitas muslim Indonesia. Pemerintah setuju dengan syarat para petinggi aliran itu kembali mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir.

Mungkin karena merasa tertekan, pemimpin Ahmadiyah lalu melunak dan menuangkan sikap mereka dalam 12 butir pernyataan. Di situ antara lain dijelaskan bahwa Ahmadiyah mengakui Muhammad Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir dan Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, pembawa berita gembira, yang bertugas memperkuat syiar Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Penjelasan itu ditandatangani pada 14 Januari 2008 dan diumumkan sehari berselang.

Menteri Agama lalu membentuk tim khusus yang bertugas memantau pelaksanaan 12 butir penjelasan Ahmadiyah itu. Tim ini resmi dibentuk pada 24 Januari 2008 lewat Surat Keputusan Nomor 6 Tahun 2008.

Setelah tiga bulan memantau, tim itu menyimpulkan bahwa Ahmadiyah tidak melaksanakan keputusan tersebut secara konsisten. Sementara itu, sejumlah petinggi aliran tersebut hakulyakin semua butir berjalan di lapangan.

Perbedaan itu membuat semuanya kembali ke titik nol. Pada 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat kembali menggelar rapat membahas Ahmadiyah. Hasilnya? Badan itu memerintahkan Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan.

Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, yang menjabat ketua badan itu, mensinyalir praktek ajaran Ahmadiyah sudah mengganggu ketertiban umum. ”Peringatan harus dilakukan lewat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.”

Badan itu mengingatkan para pemuka agama dan organisasi massa Islam agar menjaga ketertiban dan menghormati proses penyelesaian Ahmadiyah.

Repotnya, tidak semua warga taat pada imbauan itu. Dini hari, Senin pekan lalu, sebuah masjid milik Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat, hangus dibakar sekelompok orang (lihat ”Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk”). Kini sekitar 500 ribu pengikut di seantero negeri gundah-gulana.

Para petinggi Ahmadiyah tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Mereka meminta bantuan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Mereka juga berusaha menyatukan langkah dengan menggelar pertemuan nasional di Bali pada 19 April 2008. Polisi sudah memberi izin, tapi ancaman yang berdatangan membuat rencana itu kandas.

Kini harapan mereka tinggal satu: surat keputusan bersama Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Jika tiga pejabat itu menyetujui keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, tamat sudah riwayat Ahmadiyah.
 

Massa Islam di lapangan tidak sedikit juga yang berdiri di belakang Ahmadiyah. Sejumlah organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat dikabarkan menggelar aksi simpatik untuk Ahmadiyah pekan ini.


Selasa pekan lalu, 500 orang menggelar unjuk rasa di halaman pendapa Kabupaten Sukabumi, persis ketika Musyawarah Pimpinan Daerah Sukabumi sedang berunding soal Ahmadiyah.


Abah Tatan, koordinator forum orang miskin, mengecam pembakaran masjid di Sukabumi itu. Dia mendesak para petinggi yang sedang rapat agar menangkap para pelaku.


Para santri wilayah Cirebon menuntut pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku pembakaran tersebut. ”Kami menolak keras aksi pembakaran masjid itu,” kata Solichin, Ketua Forum Komunikasi Alumni Keluarga Santri Wilayah Cirebon.


Solichin menuding sikap pemerintah yang tidak tegas menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Dia menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil sikap.
 

SENIN dua pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji memastikan surat keputusan bersama akan terbit 23 April 2008.


Para petinggi Ahmadiyah yang resah sekuat tenaga menjalin lobi. Pada 22 April 2008, mereka mengadu kepada Dewan Pertimbangan Presiden. Di sana mereka diterima sejumlah anggota Dewan, termasuk Adnan Buyung Nasution.


Dalam pertemuan itu, petinggi Ahmadiyah berkeluh-kesah soal surat keputusan bersama tersebut. Mereka berharap Dewan memberi masukan kepada Presiden agar membatalkan penerbitan keputusan itu.


Angin segar ditiupkan anggota Dewan Pertimbangan. ”Akan kami coba secepatnya mencegah keluarnya surat keputusan itu,” kata anggota Dewan bidang hukum, Adnan Buyung Nasution. Dia juga berjanji akan meminta Yudhoyono membatalkan pembacaan keputusan tersebut. Entah karena lobi Buyung itu entah bukan, pengumuman surat keputusan bersama tersebut dibatalkan.


Tapi akhir pekan lalu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan bahwa Senin ini, surat keputusan bersama tiga menteri itu akan dikeluarkan.


Wens Manggut, Sunudyantoro (Sukabumi), Yugha Airlangga, Bunga Manggiasih (Jakarta)



--------------------------------------------------------------------------------


Dua belas butir penjelasan


Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengenai keyakinannya, yang dibacakan Amir Ahmadiyah Indonesia Abdul Bashid di hadapan rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat di Departemen Agama pada Januari lalu.



Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.


Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).


Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, dan pendiri serta pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.


Untuk memperjelas bahwa kata ”Rasulullah” dalam 10 syarat baiat yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, kami mencantumkan kata ”Muhammad” di depan kata ”Rasulullah”.


Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.


Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.


Buku tazkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama tazkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).


Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.


Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.


Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk umat Islam dari golongan mana pun.


Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian serta perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke Kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah serta persatuan dan kesatuan bangsa.

http://www.tempointeraktif.com/



Read More......

Muslim Moderat

Kriteria Islam dan non-Islam,
(Menuju Toleransi dan Inklusivisme)

Oleh :Ahmad Badrudduja


Sejarah Islam sejak dulu sarat dengan kafir-mengkairkan, sesat-menyesatkan.
Kalau kita telaah buku-buku tentang perkembangan sekte dalam Islam, akan
kelihatan sekali bagaimana kronisnya "penyakit" sesat-menyesatkan ini dalam
sejarah Islam.

Contoh yang sangat baik adalah buku karya Abd al-Qahir al-Baghdadi (w. 1037)yang mengarang buku al-Farq Bain al-Firaq (Perbedaan antara Sekte-Sekte) .
Sebagai juru bicara dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, al-Baghdadi mencoba merumuskan ciri-ciri sekte Sunni yang "selamat". Kelompok lain yang tak memiliki ciri-ciri itu dia sesatakan atau kafirkan. Ciri-ciri yang dikemukakan oleh al-Baghdadi begitu banyak sehingga saya mempunyai kesan bahwa apa yang diuraikan sebetulnya hanya membenarkan sektenya sendiri, yaitu sekte Asyariyyah. Dia berpandangan bahwa siapapun yang memahami akidah Islam tanpa melalui metode sekte Asy'ariyah, maka orang ia sesat atau bisa juga kafir.
Sebagian besar ciri-ciri yang dikemukakan oleh al-Baghdadi untuk menengarai
kelompok Ahlussunnah wal Jamaah bersifat ijtihadiyah, artinya hasil pemikiran sendiri. Sebagian dari ciri-ciri itu sama sekali tak ada sandarannya dalam Quran atau sunnah sendiri.

Sebagai contoh kecil saja: salah satu ciri kelompok Ahlussunnah wal Jamaah yang
selamat dan masuk sorga adalah percaya bahwa watak dasar bumi itu diam; ia hanya
bergerak karena ada faktor eksternal seperti gempa. Menurut al-Baghdadi, seluruh
ulama Ahlussunnah sepakat (ijma') mengenai hal ini.

Contoh lain: ciri Ahlussunnah adalah percaya bahwa aksiden ('aradl) adalah
sesuatu yang bersifat baru (hadith) yang selalu berlangsung dan terjadi pada
benda berjasad (ajsad). Al-Baghdadi mengkafirkan mereka yang percaya bahwa
aksiden adalah sesuatu yang secara potensial dan inheren (=teori kumun yang
dikenal dalam pandangan sebagian sekte Mu'tazilah) terdapat dalam benda. Dengan
kata lain, mereka yang tak mempercayai teori aksiden dan esensi seperti dikenal
oleh para teolog Asy'ariyah adalah kafir, menurut al-Baghdadi. Ini tentu sangat
aneh. Bagaimana mungkin teori ciptaan kalangan Asyariyah ini dijadikan sebagai
ciri sekte yang selamat dan masuk sorga, serta menjadi kriteria untuk menentukan
apakah seseorang Islam atau kafir.

Yang ingin membaca keterangan lebih detil ciri-ciri sekte Ahlussunnah wal Jamaah
menurut al-Baghdadi, silah membaca bab kelima dari karyanya yang terkenal,
al-Farq Bain al-Firaq. Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi adalah ulama besar
yang sangat penting kedudukannya dalam sejarah perkembangan pemikiran kalam atau
teologi dalam Islam. Bukunya yang sudah saya sebut tadi itu masih menjadi
rujukan banyak kalangan Sunni hingga sekarang.

Dalam pandangan saya, ciri-ciri sebagaimana dikemukakan oleh al-Baghdadi itu
hanyalah mencerminakan pertentangan teologis yang ada pada zamannya. Menurut
saya, ciri-ciri itu malah membuat pertentangan makin meruncing, sebab
al-Baghadadi menjadikan paham Asyariyah sebagai kriteria untuk menentukan
keislaman dan kafirnya seseorang. Yang di luar sekte itu dianggap tidak masuk
dalam kategori Ahlussunnah wal Jamaah dan kerena sesat atau bisa juga kafir.

Hal ini terulang kembali saat ini. Beberapa waktu lalu, MUI membuat 10 kriteria
untuk menentukan apakah suatu kelompok bisa disebut sesat atau tidak. Yang
menarik, bahasa yang dipakai oleh MUI adalah kata "sesat", bukan kata kafir.
Tetapi jika kita telaah kebijakan MUI di lapangan, ternyata apa yang disebut
sebagai sesat itu bisa juga berarti kafir. Inilah sepuluh kriteria itu:

Mengingkari rukun iman dan rukun Islam
Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran
dan as-sunah),
Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i

Sebagian kriteria ini bisa disepakati, tetapi sebagian yang lain masih terbuka
untuk diskusi atau dipersoalkan. Misalnya kriteria nomor 3: meyakini turunnya
wahyu setelah Quran. Kriteria ini jelas sama sekali ambigu. Sudah saya katakan
dalam tulisan saya yang lalu bahwa tak ada dalil sharih yang mengatakan bahwa
wahyu berhenti total setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kriteria ini hanyalah
ijtihad MUI sendiri. Dengan kata lain, belum tentu kriteria yang dibuat MUI itu
adalah kriteria untuk menentukan suatu golongan benar-benar sesat di mata Allah
SWT. Paling jauh sesat menurut MUI saja. Persis seperti kriteria Ahlussunnah wal
Jamaah yang dibuat oleh Imam al-Baghdadi di atas.

Menurut saya, sudah saatnya umat Islam membuat kriteria tentang Islam dan
non-Islam yang selonggar mungkin sehingga menghindarkan sama sekali sikap
sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan yang membuat umat Islam terpecah-pecah dan
mengalami permusuhan internal yang sama sekali tak perlu.

Menurut saya, kriteria seorang Muslim adalah sederhana. Saya mengusulkan agar
kita kembali pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar. Kata Umar,
aku mendengar Rasul bersabda, "Islam didasarkan pada lima hal, bersaksi tak ada
tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya, menegakkan
salat, mengeluarkan zakat, pergi haji menuju rumah (Allah), dan berpuasa pada
bulan Ramadan.

Hadis ini termuat dalam rangkaian hadis empat puluh yang yang dikumpulkan oleh
Imam Nawawi, dikenal dengan "Al-Arba'in al-Nawawiyyah" , hadis nomor 3.

Hadis inilah yang menurut saya paling simpel dijadikan kriteria untuk menentukan
apakah seseorang Muslim atau tidak. Dengan kriteria yang longgar dan inklusif
ini, kita terhindar dari sikap kafir-mengkafirkan yang menggerogoti persatuan
umat Islam saat ini.

Berdasarkan kriteria itu, banyak kelompok yang selama ini dianggap sesat,
sebetulnya tidaklah sesat atau kafir, termasuk Ahmadiyah.

Inna ikhtilaf al-mukhtalifin fi al-haqq la yujibu ikhtilaf al-haqq fi nafsihi
Kebenaran tak menjadi banyak hanya karena orang-orang berbeda pendapat
-- Ibn al-Sid al-Batalyawsi (w. Valencia 1127 M)


Read More......

Kamis, 10 April 2008

From The Inside


My Islam

By : Aisyah

My Islam is Islam which propagating peacefulness in the whole world
My Islam is Islam which teaching to love all God creation
....
My Islam is Islam which teaching to eliminate dislike to all human being
My Islam is Islam which teaching in honour of although differ belief
My Islam is Islam which teaching to do a kindness to all human being
My Islam is Islam which teaching [in order] not to get across and reciprocate all hostility with kindliness because my Islam [do] not teach to owe a grudge others.
My Islam is Islam which teaching to have wisdom to all human being
My Islam is Islam which teaching to forgive mistake [of] the others
My Islam is Islam which teaching to say downright and avoid falsehood
My Islam is Islam which teaching for the spread out of peacefulness and eliminate radicalism and hardness in the whole world
Love for All hatred for None
.

Read More......

Jumat, 15 Februari 2008

Opini

Panduan Penyesatan MUI
Oleh R u m a d i*
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan pernyataan yang bisa memancing kontroversi. Setelah mengeluarkan sejumlah fatwa untuk menyesatkan aliran keagamaan tertentu, kini MUI mengeluarkan panduan untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat. Jika fatwa ibarat orang memancing, panduan mengenali kelompok sesat ini seperti menebar jala. Jika memancing hanya dapat satu per satu ikan, jala memungkinkan untuk mendapat ikan jauh lebih banyak hanya dalam sekali lemparan.



Sepuluh ciri untuk mengidentifikasi aliran sesat ala MUI adalah: 1) mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam; 2) meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; 3) meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4) mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5) melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; 7) menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8) mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; 9) mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10) mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya (6/11/07).

Bagaimana menjelaskan ini semua? Harus dibedakan, panduan mengidentifikasi aliran sesat ini bukan fatwa keagamaan. Jika fatwa mempunyai dimensi hukum (fiqih) yang mempunyai ikatan religius-spiritual bagi orang atau kelompok yang mengikuti (mulzim binafsih) dan dirumuskan melalui kaidah-kaidah penetapan hukum Islam, panduan untuk mengidentifikasi aliran sesat tidak demikian. Panduan ini harus dilihat sebagai pendapat (opini) biasa yang tidak ada kaitan transedensinya. Sebagai sebuah pendapat tentu saja ia bisa diuji kebenarannya, dibantah, dan diperdebatkan.

Meski demikian, opini MUI ini mempunyai bobot yang berbeda dengan pendapat personal pada umumnya. Bukan saja karena MUI dianggap sebagai lembaga yang mempunyai “otoritas agama”, tapi masyarakat Indonesia juga belum bisa membedakan tentang status pendapat dan fatwa MUI. Akibatnya, apa saja yang dikeluarkan MUI dianggap sebagai fatwa agama yang harus diikuti. Karena itu, sebagai sebuah pendapat, panduan mengidentifikasi kelompok sesat harus dilihat sebagai opini biasa, boleh disepakati boleh tidak. Orang yang mengikuti pendapat MUI dan melakukan tindakan kekerasan, tetap harus dilihat sebagai tindakan kriminal.

Namun saya menyadari, fatwa MUI mempunyai posisi khusus bagi kelompok Islam tertentu. Karena itu, fatwa ini pasti akan diikuti kelompok itu dan menjadi energi untuk melakukan “operasi” kelompok sesat. Karena itu, jangan kaget kalau setelah keluar panduan ini akan semakin banyak terdengar penghakiman satu kelompok atas kelompok Islam lain yang dianggap menyimpang.

***

Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang layak dikomentari dari panduan identifikasi kelompok sesat yang dikeluarkan MUI. Pertama, secara substansial banyak hal yang layak dipersoalkan. Ada kriteria yang sifatnya sangat normatif seperti soal rukun iman dan rukun Islam, otentisitas al-Quran. Pada tingkat ini, meski dalam beberapa aspeknya bisa dipermasalahkan, tapi hal ini mencerminkan arus utama keyakinan teologis Islam.

Namun sejumlah kriteria yang lain sangat problemtis. Sebut saja misalnya “melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir”. Ketentuan ini tidak cukup jelas maksudnya, karena itu bisa menimbulkan berbagai berbagai penafsiran. Tentu saja saya tidak menuntut ketentuan ini diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang problematis. Penafsiran terhadap al-Quran dan kaidah-kaidah (metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena perkembangan inilah al-Quran bisa senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan).

Kedua, akibat yang paling mungkin muncul dari panduan penyesatan MUI adalah munculnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mudah mengklaim sesat terhadap kelompok lain. Hal demikian jelas sangat potensial untuk menciptakan keresahan baru dalam kehidupan masyarakat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat komunikasi baru baru dalam masyarakat yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” sebenarnya merupakan alat komunikasi kekerasan.

Ketiga, pada tingkat tertentu panduan penyesatan MUI ini sangat potensial dijadikan sebagai alat untuk menteror aktifitas berpikir umat Islam, baik teror yang muncul dari luar maupun dari dalam. Teror dari luar akan muncul dari orang lain yang dengan panduan ini digunakan untuk mengawasi pikiran dan tindakan orang lain. Akibat teror dari luar ini akan menimbulkan ketakutan sehingga orang mengontrol dirinya sendiri. Jika teror ini masuk pada dunia akademik Islam, terutama Perguruan Tinggi, jelas sangat berbahaya, karena akan terjadi pembakuan dan pembekuan terhadap intelektualisme Islam.

***

Di luar itu semua, yang mengherankan justru sikap pemerintah. Dalam berbagai kasus tentang aliran-aliran keagamaan, ada kesan kuat bahwa pemerintah senantiasa berada dibawah kendali MUI. Mulai dari aparat penegak hukum sampai presiden selalu menjadikan pendapat MUI sebagai rujukan dalam mengambil sikap. Bahkan, setelah MUI mengeluarkan sepuluh panduan untuk mengeidentifikasi aliran sesat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan akan memerangi aliran sesat. Bahkan, dalam sejarah Indonesia, SBY lah satu-satunya presiden yang membuat pernyataan demikian.

Sikap yang ditunjukkan SBY tentang aliran sempalan keagamaan jelas sangat paradoks dengan sikapnya terhadap diskriminasi Konghucu. Dalam perayaan Imlek awal Pebruari 2006, SBY membuat pernyataan yang terkesan sangat pluralis, terbuka, dan menunjukkan visi seorang negarawan. Ketika itu, Presiden SBY menyampaikan niatnya untuk mengakhiri istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara.

“Prinsip yang dianut UUD adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran agama. Tugas negara adalah memberikan perlindungan, pelayanan, serta membantu pembangunan dan pemeliharaan sarana peribadatan serta mendorong pemeluk agama yang bersangkutan menjadi pemeluk agama yang baik,” kata Presiden disambut gemuruh tepuk umat Konghucu yang hadir dalam perayaan itu.

Pernyataan tersebut jelang menunjukkan sikap seorang negarawan dengan visi pluralisme yang jelas. Namun dalam kasus aliran sempalan, presiden justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Tidak ada lagi visi kenegarawanan yang harus melindungi warga negara. Presiden justru seperti aparatus MUI yang akan menjalankan agenda dan visi MUI tentang kehidupan beragama, bukan melaksanakan UU yang menjamin kebebasan beragama. Hal ini juga diperparah dengan kenyataan, aparat kepolisian nyaris tidak pernah menindak kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan tindak kekerasan terhadap pengikut aliran tertentu yang dianggap sesat.

Jika kenyataan ini dibiarkan, maka pelan-pelan Indonesia akan berubah menjadi negara agama, dimana otoritas politik dikendalikan oleh otoritas agama. Sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Soal Aliran Sesat
Sepuluh panduan mengidentifikasi aliran sesat MUI tersebut tidak terlepas dari maraknya aliran-aliran keagamaan yang dipandang sesat. Bagaimana fenomena tersebut dijelaskan dan disikapi? Fenomena aliran-aliran keagamaan baru tidak bisa dilihat semata-mata sebagai fenomena keagamaan, tapi di dalamnya juga terkait dengan problem sosial, ekonomi, dan budaya. Kalau aliran-aliran baru semata dilihat sebagai fenomena agama maka jawaban yang muncul menjadi sangat simplistis, antara sesat dan tidak sesat, benar dan salah. Jawaban seperti ini memang tidak sepenuhnya keliru, namun harus disadari ini tidak bisa menyelesaikan akar masalah. Fatwa sesat yang dikeluarkan MUI misalnya, tak ubahnya seperti obat generik yang hanya bisa menghilangkan penyakit dalam sesaat. Karena itu, penjelasan sosial, ekonomi dan kebudayaan menjadi penting.

Dalam perspektif yang terkahir ini, aliran-aliran baru dapat dimaknai sebagai protes atas aliran-aliran lama yang dianggap jauh dari kepentingannya sebagai orang beragama. Dalam isu nabi baru misalnya, meskipun nabi-nabi baru mengaku mendapat “wahyu”, namun pada dasarnya hal tersebut menunjukkan adanya kritik atas fungsi agama yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Para nabi baru ini adalah orang-orang yang sedang mengupayakan “status sosial” baru melalui ruang psikologis masyarakat yang merindukan adanya mesiah sebagai juru selamat dalam situasi sosial yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elit agama tidak perlu marah yang berlebihan, tapi justru melakukan instropeksi apakah agama cukup fungsional untuk menyelesaikan masalah riil kehidupan.

Terkait dengan itu, beberapa hal barangkali penting untuk dipikirkan. Pertama, para elit agama seharusnya memberi pendidikan keagamaan untuk mendorong kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama antara lain bisa dilihat dari bagaimana cara merespon berbagai persoalan termasuk hal-hal yang dianggap melecehkan agamanya. Tindakan kekerasan terhadap orang yang dianggap melecehkan agama sebenarnya merupakan cermin kekurangdewasaan kita. Kedua, pera elit agama jangan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang potensial dimanfaatkan kelompok masyarakat untuk melakukan kekerasan bermotif agama. Kalau toh ada kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai aliran sesat, biarlah hal itu diselesaikan melalui mekanisme hukum, bukan dengan aksi kekerasan.

Ketiga, aparatus negara seharusnya profesional dengan bertindak sebagai pelindung untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Karena itu, pelaku tindak kekerasan tidak ada alasan dibiarkan terus menerus. Aparat kemanan harus bertindak lebih tegas kepada kelompok-kelompok penyerang, tidak justru menindak korban. Fungsi aparat pemerintah untuk melindungi warga negara harus menjadi landasan kerja secara profesional. Aparat tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dan atas nama apapun.

Meski pengikut aliran-aliran baru kita anggap sesat, mereka tetap warga negara yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi negara. Fatwa sesat MUI belum tentu sesat juga bagi pengadilan. Kesiapan menerima kemungkinan seperti ini juga menjadi bagian kedewasaan beragama.[]
....
.

*Penulis Peneliti the Wahid Institute Jakarta

http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=2760&Itemid=40

Read More......

Selasa, 29 Januari 2008

OPINI

Islam Tidak Mengajarkan Anarkisme

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(an-Nahl [16]:125)

Firman Allah Swt ini memberikan petunjuk dengan sangat jelas kepada kita bagaimana metode dakwah yang harus dipergunakan. Konsep dasar dari dakwah itu adalah “menyeru manusia kepada Tuhan” bukan kepada hal yang lain. Hal ini dipertegas dengan kata “ilaa sabiili Rabbika”. Jadi kita diminta untuk mengajak umat manusia menuju jalan Tuhan. Tapi hal ini juga sering disalah persepsikan sehingga ruang lingkup dakwah menjadi sempit, ketika dakwah hanya dimaknai dengan menyeru manusia kepada Islam. Sebenarnya tanpa dikatakan demikian juga konsep ketuhanan dan ketauhidan Ilahi yang sempuna hanya dimiliki oleh Islam.


Ada hal lain yang menarik untuk dikaji ketika sampai kepada bagaimana metode yang Allah Swt berikan untuk berdakwah ini ditekankan kepada masalah “bil-hikmah wa al-mauizhati al-hasanah”(dengan kebijaksanaan dan nasehat yang baik) disana jelas tergambar apa yang menjadi visi dari dakwah itu sendiri yaitu penaklukan hati manusia dan menggunakan cara-cara yang santun, lembut dan damai. Karena metode yang dikedepankan adalah “bil-hikmah wa al-mauizhati” yang kedua hal ini adalah berorientasi menyentuh wilayah hati menusia. Setelah itu disebutkan lagi step terakhir dari proses dakwah adalah “wa jaadilhum bi al-latii hiyaa ahsan” yaitu dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Dan kalau seandainya pada akhirnya terjadi proses perdebatan itupun harus menggunakan cara-cara yang terbaik. Walaupun sebenarnya yang harus kita bangun adalah bukan perdebatan tapi membangun proses dialog yang santun dan terbuka.
Sedih rasanya hati ini menyaksikan sebagian saudara-saudara umat muslim kita yang bertindak anarkis, melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah. Mereka menyatakan diri sedang berdakwah dan berjihad atas nama Islam tetapi bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukankah Allah Swt telah menegaskan bahwa rumah ibadah siapapun dari agama dan golongan apapun tidak boleh dirusak?

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (al-Baqarah [2]:114)

Bahkan ditegaskan dalam ayat ini, orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya sebagai orang yang paling aniaya (azhlamu).
Sudah berapa banyak masjid-masjid milik Jamaah Ahmadiyah yang dirusak oleh massa yang mengatasnamakan Islam dan hal ini sangat memprihatinkan. Alih-alih mengajak umat untuk bisa memakmurkan masjid, malahan masjid yang sudah ada pun menjadi sasaran perusakan.
Jadi selesaikanlah perbedaan dengan cara-cara yang damai bukan dengan jalan kekerasan. Dan masalah keyakinan bukan manusia yang menjadi hakimnya melainkan Allah Swt lah sebagai wujud al-Hakim yang dapat memberikan penghakiman dengan seadil-adilnya. ....
.

Read More......

Senin, 28 Januari 2008

Aksi Anarkis

Masjid Ahmadiyah Kembali Dirusak Pengunjuk Rasa

http://www.pikiran- rakyat.com/

MAJALENGKA, (PR).-
Puluhan anggota sejumlah ormas Islam merusak dan membakar masjid Ahmadiyah di Desa Sadasari, Kec. Argapura, Majalengka, meski masjid itu tengah dijaga aparat kepolisian. Perusakan dilakukan setelah mereka berunjuk rasa ke Gedung DPRD dan Pendopo Gedung Nagara menentang keberadaan Ahmadiyah, Senin, (28/1).
Sejumlah siswa berseragam sekolah juga terlihat ikut berunjuk rasa. Mereka datang ke Gedung DPRD Majalengka sekitar pukul 9.00 WIB dengan penjagaan ketat dari aparat kepolisian.

Mereka ke DPRD menggunakan beberapa kendaraan sambil membawa sejumlah poster berisi kecaman terhadap Ahmadiyah. Massa meminta ketegasan dan komitmen pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah karena dianggap telah menodai agama.

Anehnya, di antara para pedemo itu ada beberapa orang di antaranya yang terlihat membawa minuman keras, dan meminumnya di halaman Gedung DPRD Majalengka sambil mendengarkan orasi yang disampaikan beberapa peserta demo. Pengunjuk rasa yang semula berjanji tidak akan bersikap anarkis, ternyata ada yang melakukan pembakaran masjid.


Wakil Ketua DPRD Majalengka, H. Sutrisno, menyatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti tuntutan para pengunjuk rasa. Namun, agar tidak mengeluarkan keputusan yang salah, ia membutuhkan kepastian apakah Ahmadiyah itu melanggar hukum dan menyalahi agama Islam atau tidak.

Hal itu ditanggapi salah seorang pengunjuk rasa, M. Iqbal M.I. Menurut dia, sudah ada fatwa MUI yang melarang ajaran Ahmadiyah.

Perwakilan pengunjuk rasa itu juga diterima Wakil Bupati Majalengka K.H. Ilyas Helmi, Kapolres Majalengka AKBP Gagah Suseno, Kajari Tonny Sinai, Ketua DPRD H. Eman Sulaeman, dan Ketua MUI Majalengka K.H. Mumu Ridwanullah. Dalam pertemuan tersebut mereka menyepakati akan mengonsultasikan masalah Ahmadiyah itu ke Depdagri.

"Persoalan agama itu adalah persoalan pemerintah pusat sehingga kita belum bisa memutuskan. Dalam waktu dekat, kita akan melakukan pertemuan dengan ulama membahas hal ini," ungkap Wakil Bupati Majalengka.

Perusakan masjid

Setelah berunjuk rasa di DPRD, puluhan pengunjuk rasa di antaranya melanjutkan aksinya dengan merusak masjid Ahmadiyah di Desa Sadasari. Masjid itu sebenarnya telah dirusak massa beberapa waktu lalu.

Mereka naik ke atas genting, mencopotinya satu per satu dan melemparkannya ke bawah. Warga juga membakar karpet masjid, walau tidak sampai membakar bangunan masjid tersebut.

Kapolres Majalengka AKBP Gagah Suseno membenarkan terjadinya aksi tersebut. Menurut Kapolres, polisi telah melakukan penjagaan ketat baik di pendopo, gedung DPRD, dan gedung kejaksaan. Petugas juga sudah sebenarnya sudah berupaya menghadang massa di pintu masuk ke Desa Sadasari untuk menghindari aksi anarkis terhadap permukiman dan masjid milik Ahmadiyah.

"Kita sebenarnya telah melakukan penjagaan dan memblokir jalan menuju masjid. Namun, ternyata mereka masuk melalui jalan belakang dan menyimpan kendaraan di pintu masuk ke kantor balai desa sehingga bisa lolos dari pantauan," ungkap Gagah.

Menurut dia, polisi telah mengidentifikasi pelaku perusakan dan akan dikenai sanksi hukum. (C-30)*** ....
.

Read More......

Perusakan Masjid milik Ahmadiyah


Agama
Massa Merusak Masjid Milik Ahmadiyah

Liputan6.com, Majalengka: Masjid milik jemaat Ahmadiyah di Desa Sadasari, Argapura, Majalengka, Jawa Barat, belum lama ini kembali menjadi sasaran amuk massa. Aksi anarkis ini diperbuat sekelompok warga yang tak menerima keberadaan jemaat Ahmadiyah. Selain merusak masjid, massa juga membakar karpet yang berada di dalam tempat ibadah kelompok tersebut.
Sejumlah polisi yang berjaga di sekitar masjid tak mampu berbuat banyak. Ini mengingat jumlah warga lebih banyak. Aksi perusakan untuk kesekian kalinya ini terjadi usai warga menggelar unjuk rasa ke Kantor Bupati dan Kejaksaan Negeri setempat. Demonstran juga menuntut agar rekan-rekan mereka yang diperiksa polisi terkait aksi perusakan sebelumnya segera dibebaskan. Namun karena menilai tuntutannya tidak ditanggapi, massa kemudian melampiaskan kemarahan dengan merusak masjid milik pengikut Ahmadiyah [baca: Puluhan Perusak Masjid Ahmadiyah Serahkan Diri].(ANS/Ridwan Pamungkas)http://www.liputan6.com/daerah/?id=154157

Read More......

Minggu, 27 Januari 2008

OPINI

Indonesia Bukan Negeri Kafir

09/12/2007
Oleh Robith Qosidi
Belakangan ini muncul beberapa kelompok yang menganggap bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem kafir, sehingga sistem pemerintahan Indonesia perlu diganti dengan sistem –yang menurut mereka- Islami. Penulis tidak sepakat dengan anggapan ini. Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak untuk berdialog dengan pikiran jernih, tidak emosional, logis, dan mengedepankan maslahat. Lalu kita mengkaji, benarkah sistem pemerintahan umat Islam dari sejak jaman sahabat radliyallahu anhum tidak mau menerima sistem luar? Lalu sebenarnya bagaimana pandangan Islam terhadap sistem politik dan sistem pemerintahan? Serta pertanyaan terakhir, pantaskah Indonesia disebut sebagai dar al-kufr (negeri kafir)?

Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa sejak jaman sahabat, sistem politik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka terhadap sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarang dinasti Islam zaman klasik, seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zaman sahabat radliyallahu anhum, mengadopsi sistem non-Islam.
Seperti Sayyidina Umar radliyallahu anhu mengadopsi sistem diwan (administrasi negara untuk mengatur kebijakan ekonomi makro dan administrasi militer), dll) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:304), beliau juga berijtihad untuk mengadopsi perangkat hukum seperti penjara, dinasti Umayyah mengadopsi perangkat pemerintahan seperti protokoler (hijabah) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356), Abbasiyah megadopsi sistem wizarah (kementerian) ala Persia. Ibn Khillikan mengatakan dalam kitab Wafyat al-A'yan bahwa orang paling pertama menyandang gelar wazir dengan wewenang tertentu adalah Abu Salamah dalam dinasti Abbasiyah. Sebelumnya, gelar wazir dengan wewenang tertentu tidak pernah ada, baik di masa Umayyah dan masa lainnya. (Ibn Khillikan:1971:Vol I:229)
Data di atas membuktikan bahwa dari dahulu pemerintahan yang dijalankan umat Islam selalu terbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam. Bahkan ciri-ciri pemerintahan Islam itu justru terbuka dengan sistem luar serta berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan maslahat umat. Tapi ini tidak serta merta menunjukkan tidak ada inovasi sama sekali dalam konsep-konsep politik Islam. Justru yang terjadi umat Islam melakukan pembenahan-pembenahan agar sistem politik tersebut bisa sesuai dengan kondisi umat Islam dan membawa maslahat bagi umat Islam.
Oleh karena itu penulis tidak sepakat dengan pemikir seperti al-Jabiry (dalam buku al-Aql as-Siyasy :2000) serta orientalis seperti Louis Marlow (dalam buku Masyarakat Egaliter: 1987). Yang menggambarkan bahwa keterpengaruhan sistem politik Islam dari sistem luar itu adalah bentuk ketidak mandirian sistem politik Islam. Tidak, sama sekali tidak. Masalahnya muncul karena al-Jabiry dan Marlow hanya mengkaji akar konsep tanpa memperhatikan perubahan fungsi serta motivasi adopsi sistem politik tersebut. Sehingga penilaiannya menjadi berat sebelah.
Mereka membangun argumentasi seperti ini: Kelahiran konsep-konsep politik umat Islam klasik itu berada dalam paradigma sistem sosial politik Persia yang membagi elemen sosial umara' (pemerintah) dan ulama (kahanah). Dua elemen sosial ini dianggap saudara kembar (tauamany), bukan satu kesatuan, seperti di jaman sahabat radliyallahu anhum yang tidak membagi antara elemen sosial umara dan ulama. Di masa sahabat umara juga seorang ulama yang mujtahid, seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a. Paradigma sosial politik seperti inilah yang membuat karya politik umat Islam hanya berupa nasihat seorang ulama terhadap seorang presiden. Sama halnya di zaman Persia kuna tugas seorang kahanah (agamawan Majusi) adalah menasehati raja. Penulis tidak sepakat dengan penyederhanaan masalah seperti ini.
Bagi penulis justru nasihat bagi para raja merupakan upaya ulama untuk memberikan dimensi etis bagi sistem politik yang ada. Semua karya politik Islam, khususnya karya Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, seperti karya al-Ghazaly dalam Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan karya-karya Nashaih al-Muluk (nasehat bagi raja) mempunyai fungsi dan motivasi mulia. Yaitu memasukkan nilai akhlaq pada sistem politik yang kaku, bahkan pada sistem fiqh yang kaku. Sebab jika syariat diterapkan tanpa pendekatan akhlak (etis), maka yang terjadi adalah diktatorisme syariat, bentuk-bentuk syariat yang dipahami secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanah atau terbang bersama udara. Inilah yang membuat penulis tidak sependapat dengan Islam garis keras yang memahami dari sisi hukum (fiqih) saja, tapi tidak mendekati syariat dengan dimensi etis dan spritual.
Penulis menganggap bahwa penerapan syariat tanpa dimensi akhlaq hanya akan menghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah al-hasanah wa al-mujadalah billaty hiya ahsan. Serta akan bermunculan gaya dakwah dengan pedang atau mungkin dengan teror bom bagi rakyat sipil yang tak berdosa. Padahal Nabi Saw sudah mengatakan dengan jelas, dalam peperangan sekalipun tidak boleh membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, orang lemah, serta tidak boleh menghancurkan harta benda, serta tidak boleh menghancurkan rumah ibadah agama lain.
Penerapan syariat dengan wajah radikal pun menurut penulis akan menghilangkan ruh hukum itu sendiri. Serta menghilangkan gaya Rasul SAW dalam menerapkan syariat. Pertanyaannya benarkah Rasul Saw menerapkan syariat secara ganas dan radikal. Sama sekali tidak. Justru Rasul SAW menerapkan syariat dengan penuh etika dan mengedepankan maslahat. Sebab, kalau kita mengikuti pola pikir golongan Islam garis keras, maka diandaikan Rasul Saw seakan-akan menerapkan hukum Islam tanpa ampun, tanpa nego. Jika ada yang mencuri, potong tangan. Jika ada yang berzinah, dirajam. Jika salah langsung di hukum. Penulis justru melihat Rasul SAW tidak seperti itu. Penulis melihat ada proses-proses psikologis, etis, dan dakwah bil hihmah wa al-mauidlah hasanah, wal mujadalah billaty hiya ahsan.
Penulis tidak akan berbicara bagaimana hukum dalam Islam diterapkan secara gradual (tadrijy). Penulis ingin memotret fenomena lain tentang bagaimana Rasul SAW menerapkan hukum. Penulis ingin mengambil contoh seorang wanita pezinah yang dihukum oleh Rasul. Ceritanya bermula saat wanita itu menghadap Rasul SAW dan mengaku berzinah. Kalau kita mengikuti Islam garis maka seharusnya Rasul Saw langsung merajam wanita itu. Yang terjadi justru tidak begitu. Rasul Saw menyuruh wanita itu pulang, seraya berkata mungkin kamu hanya pegang-pegangan, kemudian disuruh pulang. Kemudian lain hari wanita itu datang lagi dengan mengaku hal yang sama. Kalau kita mengikuti golongan Islam garis keras, saat itu harusnya Rasul SAW merajam wanita itu, kalau tidak beliau tidak menjalankan perintah Allah, sebab sering kita dengar golongan Islam garis keras menafsirkan ayat wa man la yahkum bima anzalalallahu faulaika hum al-kafirun, munafiqun, fasiqun, secara semena-mena. Yang terjadi justru Rasul Saw bersebrangan dengan pola pikir golongan Islam garis keras, kemudian beliau mengatakan mungkin kamu tidak sampai bersenggama jima', lalu wanita itu disuruh pulang. Wanita tetap datang lagi sampai berkali-kali, dan disuruh pulang berkali-kali, sampai wanita pezinah itu melahirkan anak, baru ia dihukum oleh Rasul SAW. Betapa beliau mengajarkan bagaimana penerapan hukum itu dengan santun, tenang, tidak gegabah, serta mengedepankan maslahat.
Ini juga tauladan dari Rasul SAW agar kita tidak bertindak sceara emosional. Sama halnya ketika beliau menghadapi orang yang kencing di mesjid Nabawy. Para sahabat langsung menghunuskan pedang. Ternyata beliau melarang menggunakan kekerasan dan bertindak emosional. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa orang itu kafir, menghina Islam, darahnya halal. Tidak, sama sekali tidak. Beliau dengan wajah tersenyum menyuruh untuk menyiram bekas kencing orang badui tersebut dan memaafkannya. Masyallah, innahu la'ala khuluqin adlim. Sesungguhnya beliau berakhlaq mulia. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Ada contoh menarik lagi yang pantas untuk kita renungkan. Suatu saat ada seorang tua dan miskin bersenggama di tengah hari di bulan ramadlan. Ia datang pada Rasul SAW. Ia mengatakan saya bersenggama, wahai Rasul saw. Beliau menyuruhnya untuk memerdekakan budak. Dia menjelaskan bahwa dia tidak punya uang. Rasul saw menyuruhnya berpuasa dua bulan. Ia mengatakan, saya lemah, tua, dan tidak kuat. Rasul saw menyuruh untuk memberi makan pada orang miskin. Ia pun mengatakan, ia sangat miskin dan tidak punya uang. Lalu apakah kemudian tidak ada pilihan lain. Mungkin kalau menggunakan logika Islam garis keras pasti tak ada pilihan lain. Karena pemahaman yang salah tentang wa man la yahkum bima anzalallahu faulaika hum al-kafirun. Rasul justru memberi alternatif keempat yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Lalu beliau memberikannya korma, seraya mengatakan, bersedekahlah dengan korma ini. Subhanallah, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Sesungguhnya, engkau paduka Rasul saw, benar-benar diutus untuk memberi rahmat bagi alam semesta. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Jadi hukum yang diterapkan Rasul SAW itu tidak kaku, tapi fleksibel. Dan hukum bukan untuk hukum, melainkan untuk maslahat. Ahlussunnah wal Jma'ah mendekati hukum dengan pendekatan maslahat tersebut. Itu juga yang dicontohkan oleh sahabat radliyallahu anhum. Oleh karena itu NU tidak melihat politik dijalankan hanya dengan pemahaman teks an-sich yang radikal. Sebab itu bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Kita pun sering melihat para sahabat melakukan banyak hal karena berlandaskan maslahat an-sich asal sejalan dengan ruh Islam. Seperti Abu Bakar Ra mengumpulkan mushaf al-Qur'an, memerangi mani' zakat, menunjuk Umar sebagai pemimpin penggantinya. Serta Umar Ra tidak memberikan zakat pada muallaf qulubuhum, membuat diwan atha' dan diwan jaisy, menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada saat krisis ekonomi. Serta Usman menetapkan satu mushaf usmany dan membakar yang lain. Serta masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa kebijakan politik dan pemerintahan mereka tidak berdasarkan pada nash sharih, tapi berdasarkan maslahat dan sesuai dengan ruh Islam. Sebab pemerintahan itu tidak bisa dijalankan dengan teks an-sich, harus selalu ada ijtihad agar mampu memasukkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Semua itu karena tujuan utama berdirinya negara adalah maslahat umat dan tegaknya keadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, dan membawa maslahat. Bahkan demi terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperangan berkepanjangan yang hanya merugikan umat Islam. Oleh karena itu baik al-Ghazaly maupun Ibn Taimiyah, memperbolehkan untuk hidup di dalam kekuasaan yang fajir (pendosa) sekalipun. Sebab bertahun-tahun bersama pemimpin fajir lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin. Sebab berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.
Bahkan dikisahkan dalam Al-Qur'an banyak negara yang tidak memeluk Islam tapi damai, tentram, sejahtera, dan dipuji Allah swt. Atas dasar ini pula al-Ghazaly lebih mementingkan keadilan dan kesejahteraan daripada sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk, ia menasehati semua pemeritah muslim, "...Maka perlu kamu ketahui bahwa pembangunan negeri dan kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeri akan makmur seperti di jaman (Raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra Anusyirwan. Sedangkan jika pemimpinnya dlalim maka negeri akan rusak berantakan seperti di jaman Dhahhak, Afrasiyan, Barsdkan...). Dalam teks ini terlihat Al-Ghazali tidak terlalu memusingkan bentuk pemerintahan, mau pemerintahan Persia, Arab atau lain sebagainya. Yang penting pemimpin harus adil dan membawa maslahat bagi umat.
Jadi, sudah seharusnya kita keluar dari dikotomi kaku antara Dar al-Kufr (Negeri Kafir) dan Dar al-Islam (Negeri Islam). Tidakkah kita mencari alternatif bentuk negeri yang lain. Sebuah negeri yang terbuka pada sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankan maslahat, serta bisa menerapkan syariat Islam, akhlaq Islam, Aqidah Islam dengan damai dan santun: Yaitu Dar as-Salam (Negeri Damai). Itulah Indonesia.
Robith Qosidi
Alumnus Universitas Al Azhar, Mantan Ketua Lakpesdam PCINU Mesir
http://www.nu.or.id/page.php

Read More......

Humanity First-Serving Mankind