Kamis, 19 Februari 2009

Derita Ahmadiyah dan Jasanya

Ahmadiyah, Derita di Atas Jasa

Oleh : Heni Purwono

13-Des-2008, 21:52:03 WIB - [www.kabarindonesia. com]


KabarIndonesia - Kalau Salman Rushdie dianggap menodai Islam dengan
Ayat-ayat Setan-nya, hal serupa dialami oleh Jamaat Ahmadiyah yangdinilai "menyekutukan" kerasulan Muhammad. Namun nasib jelas berbeda.Kalau Salman Rushdie akhirnya dihukum mati sebagai pribadi, makaJamaat Ahmadiyah secara komunal menjadi bulan-bulanan dari mayoritasyang cenderung berlaku tiran. Sungguh menyedihkan, klaim sesat yangdituduhkan terhadap Jamaat Ahmadiyah justru kebanyakan diakibatkan
oleh desas-desus yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran terhadapaktifitas perusakan terhadap Jamaat Ahmadiyah.

Melihat Ahmadiyah Apa Adanya

Kemunculan Ahmadiyah sesungguhnya tak jauh berbeda dengan kemunculan dari faham-faham di Jawa maupun di belahan bumi manapun yangsenantiasa rindu akan tokoh perubah dari keadaan yang carut marut,menjadi zaman yang gilang-gemilang. Sehingga, muncullah kemudian
konsepsi ratu adil, satria piningit, eru cakra, mesias, maupunmelanerisme.
Tak aneh jika faham ini dimana pun dan kapan pun senantiasa akanmenggurita. Hal ini dikarenakan sudah menjadi sebuah hukum alam bahwarotasi kehidupan tentu akan selalu bergulir, dan kondisi perubahan kearah yang lebih dan lebih baik lagi tentu selalu dirindukan oleh semuakalangan. Terlebih ketika faham itu kemudian berbalut denganlegitimasi sebuah religi, makin klop-lah apa yang diyakini tersebutsebagai sebuah kasunyatan.

Ahmadiyah berangkat dari landasan yang hampir diyakini oleh seluruhumat, tak hanya umat Islam, akan munculnya Imam Mahdi. Nah, Imam Mahdidan Isa yang dijanjikan dalam satu nama ini diyakini sebagai pengikutsetia dari Rosululloh Muhammad. Dan bagi kalangan Ahmadiyah, kriteriasemacam ini menitis pada sosok Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qodian
yang mendakwakan dirinya sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.

Konsespsi Pulung dan Tanda-tanda Kenabian

Ternyata konsep pulung atau wahyu yang terkait dengan kondisi alamataupun lingkungan tak hanya dianut oleh tradisi Jawa, melainkankonsepsi tersebut diyakini oleh hampir semua umat di dunia, apapunkepercayaannya. Demikian juga dengan Jamaat Ahmadiyah, ternyatakeyakinan mereka terhadap "kenabian" Mirza Ghulam Ahmad juga diawalidengan gejala alam, yaitu kemunculan gerhana bulan dan matahari dalambulan yang sama, dan hal itu diyakini telah terjadi pada bulanRamadhan tahun 1894 setelah sebelumnya didahului dengan pembaiatanterhadap 40 pengikut Mirza Ghulam Ahmad di Ludhiana, India pada 23Maret 1889.

Dari tokoh sentral Mirza Ghulam Ahmad inilah diyakini oleh JamaatAhmadiyah bahwa keberadan dunia akan selamat ketika umat mendekatkandiri kepada Tuhan dan juga dekat dengan Imam akhir zaman. Konsepsisemacam ini sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru lagi. Hanya sajasepertinya Jamaah Ahmadiyah terlanjur keseleo menisbatkan tokohsentralnya sebagai seorang nabi. Apesnya lagi, kata-kata nabi sudahterlanjur dikeramatkan oleh sebagian besar kalangan dan telah dianggaphabis masa berlakunya.

Sebagaimana Ayat-ayat Setan-nya Salman Rushdie, sesungguhnya Salmanbisa saja selamat dari hukuman mati seandainya ia mau menggantiAyat-ayat Setan menjadi Ayat-ayat Salman. Atau seandainya menggantinyadengan kata Ayat-ayat Cinta, bisa jadi Habiburrahman El Shirazi takakan seterkenal sekarang ini. Pun demikian dengan "kenabian" MirzaGhulam Ahmad. Seandainya saja ia tidak mentasbihkan diri sebagai nabi,namun cukup menggunakan kata wali, bisa jadi ceritanya akan lain.

Lihatlah semisal, keberadaan para Wali Songo atau bahkan Sultan AgungHanyokro Kusumo Khalifatulloh Jawa, yang sebenarnya memosisikan dirilayaknya nabi. Dan ternyata kebenaran semacam itu lebih bisa diterimaoleh banyak kalangan yang sudah menganggap kata nabi sebagai sesuatuyang sudah menjadi titik mati. Padahal, esensi dari tokoh-tokoh itu dimata pengikutnya, bukankah sama? Dianggap sebagai satria piningit yangakan membawa kesejahteraan bagi rakyat, lepas dari keterpurukan zaman.

Jikalau semua kalangan faham akan konsep ratu adil tersebut, makaniscaya tak akan sampai terjadi arogansi di kalangan masyarakat danpemaksaan terhadap suatu keyakinan. Mengingat sesungguhnya apa yangdiyakini oleh Jamaat Ahmadiyah sejatinya juga diyakini oleh semuaumat, hanya saja dengan kadar penamaan tokoh yang berbeda.

Melihat Jasa-jasa, Melepaskan Derita

Dalam sejarahnya, kedatangan Ahmadiyah pertama kali di kawasan kitayaitu di tahun 1925. dan pada masa itu, tentunya menjadi sebuahpencerahan spiritual di tengah penindasan kaum kolonial yang jugamembawa misi religi. Jamaat Ahmadiyah juga mendukung perjuangan bangsa
Indonesia dengan kekuatan spiritual dengan menginstruksikan seluruhpengikutnya untuk berpuasa Senin-Kamis selama dua bulan penuh di tahun1946, membakar semangat perjuangan di media surat kabar yang tersebarhingga ke luar negeri, dan bahkan Soekarno pun sangat terharu denganperjuangan dan pergerakan Ahmadiyah.

Tak aneh jika dalam buku 'Di Bawah Bendera Revolusi', Ahmadiyahmenjadi salah satu bahasannya. Kalangan Jamaat Ahmadiyah yang mahirberbahasa Urdu juga sempat membantu informasi melalui radio bagipasukan Inggris yang sebagian besar merupakan tentara Gurkha yangtergabung dalam pasukan perdamaian NICA, dalam melucuti senjataJepang. Bahkan mungkin jarang yang tahu, ketika rezim Orde Lamaberkuasa kemudian digulingkan oleh mahasiswa sehingga melahirkan OrdeBaru, salah satu aktor paling berpengaruh adalah seorang Ahmadi(sebutan bagi "penganut" Ahmadiyah) yaitu Khuddam, Arif Rahman Hakim,Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang gugur menjadimartir bagi perjuangan mahasiswa untuk memeperbaiki sistempemerintahan di negeri ini, sehingga ia dinobatkan sebagai pahlawanAmanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Dengan jasa-jasanya, pantaskahjika Jamaat Ahmadiah terus-menerus menanggung derita akibatketidaktahuan kita?

HENI PURWONO, S.Pd. Direktur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah
dan Sosial (Puspless)

Read More......

Rabu, 21 Januari 2009

Ahmadiyah:Sejarah Yang Terlupa

Persinggungan Founding Father Dengan Ahmadiyah: Sebuah Sejarah Yang Terlupakan

Oleh :A. Faizal Reza
(Pemerhati masalah sosial dan agama, tinggal di Bandung)

Ketika seharusnya saudara-saudara kita dari Ahmadiyah mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan akibat tindakan persekusi yang menimpanya akhir-akhir ini, para pejabat kita malah mengeluarkan pernyataan yang menyakiti perasaan mereka. Salah satunya datang dari seorang pejabat tinggi negara kita yang mempertanyakan kontribusi Ahmadiyah terhadap bangsa ini. Ibarat pepatah, “Bukannya menolong, tetapi menggolong” Bukannya perlindungan yang didapat, kesusahan yang mereka alami semakin bertambah. Point inilah yang ingin penulis ulas.


Ahmadiyah menjejakkan pengaruhnya di tanah air jauh sebelum era kemerdekaan. Setidaknya pada tahun 20-an, literatur-literatur Ahmadiyah sudah dikenal tokoh-tokoh pergerakan kita. Jadi, ketika Ahmadiyah Lahore masuk pertama kali ke tanah air dengan perantaraan mubalighnya, Mirza Wali Ahmad Beig pada 1924, lalu disusul setahun kemudian oleh Ahmadiyah Qadian, melalui utusannya Tuan Rahmat Ali, tokoh-tokoh pergerakan tidak terlalu asing lagi. Satu hal yang tidak dapat disangkal, Ahmadiyah menawarkan pemahaman-pemahaman Islam yang segar, dan ini cocok dengan mereka yang merasakan gejala “inferiority complex” ketika berhadap-hadapan dengan hegemoni Barat. Pengaruh Ahmadiyah terlihat pada kongres Sarekat Islam 1928, di Yogya. Dalam kongres itu dibicarakan tafsir Qur’an -yang digarap Tjokroaminoto- yang ternyata didasarkan atas tafsir Ahmadiyah Lahore. Mengapa justeru memakai tafsir Ahmadiyah ? Tentang ini Agus Salim menerangkan bahwa dari segala jenis Al-Qur’an, yaitu dari kaum kuno, kaum mu’tazillah, ahli sufi dan golongan modern (di antaranya, Ahmadiyah), tafsir Ahmadiyahlah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar (Pringgodigdo, 1978 : 41).
“Nuansa” Ahmadiyah juga turut mewarnai pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Seperti dituturkan Nurcholish Madjid, saking terpelajarnya, mereka ini memilih buku-buku Islam dalam bahasa Barat, yang pada waktu itu tidak ada yang lain kecuali terbitan Ahmadiyah. Maka dari itu banyak sekali orang memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah.
Lebih kentara lagi pengaruh tersebut kepada Bung Karno. Buku-Buku Ahmadiyah turut berkonstribusi “mematangkan” pemahaman ke-Islamannya. Akibatnya, tak sedikit tulisan-tulisan Bung Karno yang menyertakan Ahmadiyah di dalamnya. Ketika di buang ke Endeh, Bung Karno menyatakan bahwa pemahaman-pemahaman kelompok ini merupakan pemahaman yang modern, rasional, dan broadminded. Sikap Bung Karno tersebut tak urung mengundang lawan-lawan politiknya menuduh beliau menjadi propagandis Ahmadiyah. Hal ini dibantah Bung Karno sendiri, namun demikian penghargaannya terhadap kelompok ini tidak pernah berhenti. Semisal dalam artikel “Memudakan Pengertian Islam” yang ditulis Bung Karno pada tahun 40-an. “ Di sana Bung Karno menyoroti Ahmadiyah sebagai organisasi Islam yang mempunyai pengaruh besar tidak saja di India, lebih dari itu merupakan faktor penting pula di dalam dakwah Islam di benua Eropa (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I).
Sejarah mencatat pula konstribusi Ahmadiyah internasional untuk tanah air kita. Ketika Kemerdekaan Indonesia baru saja dikumandangkan, sebagai negara yang masih muda tentu membutuhkan dukungan serta pengakuan dari negara-negara lainnya, dan Ahmadiyah turut aktif mengkampanyekan hal ini ke seluruh dunia. Banyak tulisan-tulisan dalam surat kabar –yang ditulis tokoh-tokoh Ahmadiyah- membentangkan sejarah perjuangan kita yang intinya untuk menyiarkan seluas-luasnya kemerdekaan yang baru saja dicapai bangsa Indonesia.
Secara lebih Khusus, Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad –pemimpin Ahmadiyah (Qadian) internasional ketika itu- memberikan seruan kepada seluruh pemimpin dunia Islam supaya mereka dengan serentak menyatakan sikapnya untuk mengakui berdirinya pemerintahan Republik Indonesia. Hal ini kemudian diiringi perintah spritual, agar para pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia berpuasa tiap hari Senin-Kamis selama bulan September-Oktober guna memohon do’a kepada Allah untuk kejayaan Indonesia (Kedaulatan Rakyat, edisi Selasa Legi, 10/12/46).
Perintah Pimipinan Ahmadiyah Internasional ini kemudian dijalankan Sayyid Shah Muhammad al-Jailani, mubaligh Ahmadiyah Qadian untuk Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan sosialnya mendukung kemerdekaan, Shah Muhammad mulai dikenal Bung Karno. Semenjak itu hubungan keduanya semakin erat dan di kemudian hari, atas jasa-jasanya, Shah Muhammad dianugerahi status kewarganegaraan Indonesia. Tokoh Ahmadiyah lainnya yang turut aktif dalam revolusi kita adalah R. Muhyidin –Ketua Pengurus Besar Ahmadiyah Qadian-. Karena aktivitasnya sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan tahun pertama di Ibukota RI, mengakibatkan beliau diculik tentara Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya.
Pada saat agitasi-agitasi anti Ahmadiyah sedang hangat-hangatnya di Pakistan tahun 50-an, di Indonesia sendiri Shah Muhammad tidak tinggal diam. Salah satu target serangan mullah-mullah Pakistan pada waktu itu adalah Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan yang kebetulan adalah seorang ahmadi. Shah Muhammad kemudian menemui Mr. Jusuf Wibisono-tokoh Masyumi-. yang mengakui banyak membaca literatur-literatur Ahmadiyah, meski dirinya bukan seorang Ahmadi. Sebagai hasil dari pembicaraannya itu, Jusuf Wibisono menulis serangkaian karangan dalam Harian Mimbar Indonesia guna mengkritik pemerintah Pakistan, sebab Zafrullah sudah berjasa besar bagi dunia Islam dan untuk Pakistan sendiri.
Tidak lama setelah tulisan-tulisan Jusuf Wibisono tersiar, Duta Besar Pakistan Untuk Indonesia, Choudry Muddabbir Husein mengakui kepada Shah Muhammad bahwa dirinya telah dipanggil menghadap Presiden Soekarno. Pada kesempatan itu Bung Karno menyalahkan serta menyesalkan Pemerintah Pakistan yang bersikap masa bodoh terhadap kejadian huru-hara anti Ahmadiyah dan Zafrullah Khan. Peringatan keras Bung Karno, dapat dilihat dari kata-katanya kepada sang duta besar, “Sampaikan segera kepada pemerintahmu,kalau Pemerintah Pakistan terus membiarkan keadaan itu berlarut-larut dan tidak berusaha mengatasinya dengan segera, maka kami akan meninjau kembali apa perlunya pemerintah Indonesia melanjutkan hubungan diplomatik dengan pemerintah semacam itu. (Sinar Islam, 1977).
Kedekatan Ahmadiyah terjalin juga dengan “Dwitunggal” lainnya, yakni Bung Hatta. Serupa dengan Bung Karno, tokoh proklamator ini mengenal Ahmadiyah melalui buku-buku dan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Indonesia. Dan jika kita mau meneruskan ini, masih banyak peran serta kontribusi Ahmadiyah yang belum terungkap. Semisal bagaimana Departemen Agama kita mengutip buku “Pengantar Untuk Mempelajari Al-Qur’an,” karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II Ahmadiyah, untuk proyek tafsir Al-Qur’an tanpa pernah menyebutkan sumbernya. Atau tokoh Arief Rahman Hakim –Pejuang Ampera- yang ternyata adalah seorang anggota Khudam, Pemuda Ahmadiyah.
Melihat kedekatan Ahmadiyah dengan founding fathers, pada gilirannya membawa keprihatinan menyikapi para pejabat kita sekarang. Mengapa mereka tidak searif bapak-bapak pendiri negara ini ? Jawabannya terletak pada kualitas mereka sebagai pemimpin.

Read More......

Bung Karno dan Ahmadiyah

Bung Karno: Dari Persatuan Nasional Sampai Soal Ahmadiyah

by : Bonnie Triyana

Laksana menguras lautan, membicarakan Bung Karno tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada hal menarik untuk didiskusikan.Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno. Ia lahir pada 6 Juni 1901, mengemukakan konsep Pancasila untuk kali pertama pada 1 Juni 1945 dan meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Tahun ini, karena bertepatan dengan seabad kebangkitan bangsa, hari Pancasila dirayakan secara gegap gempita oleh beberapa elemen masyarakat Indonesia. Namun sayang, sukacita di dalam peringatan tersebut harus ternodai oleh insiden Monas yang menciderai rasa persatuan nasional.

Syafi‘i Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam sebuah kesempatan, mengomentari beberapa kejadian akhir-akhir ini, mengatakan perlunya para pemimpin mempelajari kembali gagasan-gagasan Bung Karno dan Bung Hatta. Untuk membina persatuan bangsa kita memang perlu sesekali menengok ke belakang, melihat kembali apa yang dilakukan oleh para pendiri republik ini di dalam menjaga persatuan.

Banyak pemimpin yang berlagak “futuristik”, selalu menganjurkan pentingnya masa depan. Padahal tanpa bercermin ke masa lalu, yang menghasilkan kekinian, sulit rasanya untuk memprediksi masa depan yang cerah. Terlebih ketika masa lalu ditinggalkan begitu saja tanpa pernah memetik pelajaran daripadanya.

Nasionalisme, Islam, dan Marxisme
Bung Karno menekankan pentingnya persatuan nasional, karena menurutnya hanya itulah benteng terkuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sejak muda, ia menggandrungi persatuan, seperti yang dia perlihatkan ketika menulis artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” pada 1927. Menyatukan semua kekuatan revolusioner (sammenbundelling van alle revolutionaire krachten) demi kemerdekaan Indonesia menjadi tujuan pekerjaan Bung Karno selama bertahun-tahun dan karena itu jualah berulang kali dia masuk penjara kolonial Belanda.

Bung Karno seringkali diolok-olok sebagai pemimpi karena berupaya keras menyatukan ketiga golongan yang banyak disebut orang banyak sebetulnya tak mungkin untuk disatukan. Pemahaman Bung Karno mengenai ketiga hal memang berbeda dari pemahaman kebanyakan orang. Menurut Bung Karno, Islam adalah elemen penting yang menebalkan rasa nasionalisme dan menghimpun persaudaraan di kalangan rakyat jajahan. Ia menilai Islam sama sekali tak bertentangan dengan konsep nasionalisme yang digagasnya.

Sebaliknya, Bung Karno melihat perasaan nasionalisme yang sempit dan terjebak pada sifat chauvinistik justru bertentangan dengan gagasan di dalam Islam. Sementara itu persinggungan antara Marxisme dan Islam yang menurut banyak kalangan bagaikan menyatukan air dan minyak dalam satu wadah sama sekali bukan masalah buat Bung Karno. Dia memandang cita-cita di dalam Marxisme tidak bertentangan dengan Islam, karena Marxisme cuma satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, politik dan sejarah manusia.

Bagi Bung Karno, nasionalisme harus dapat menyediakan tempat bagi Islam dan kaum Marxis dan sebaliknya Islam juga harus bekerjasama dengan nasionalis dan Marxis. Pertentangan antara agama dengan Marxisme dikesampingkan Soekarno dengan menerima materialisme historis dan menolak falsafah materialis. Tentu saja apa yang dibayangkan oleh Bung Karno tidak sepenuhnya berjalan mulus. Paling tidak ketidakmulusan realisasi pemikiran Bung Karno itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan yang terjadi di dalam konstituante di tahun 1950-an, terutama antara golongan Islam dengan kelompok lain yang bahkan mengarah kepada perang saudara.

Menurut pendapat sejarawan Onghokham, Bung Karno memiliki kepentingan untuk membuat sebuah front persatuan di dalam melawan penjajahan. Jadi konsep Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang dia tulis merupakan bentuk “inovasi politik” yang didasarkan pada realitas politik yang sedang berkembang pada zamannya. Ia melihat Sarekat Islam tumbuh pesat dan berhasil menyatukan umat muslim dalam satu wadah, sementara kelompok Marxis, dalam hal ini PKI, berhasil membawa rakyat untuk muncul sebagai kekuatan progresif yang berani melawan Belanda seperti yang terjadi pada peristiwa pemberontakan tahun 1926.

Bung Karno teguh mempertahankan keyakinan politiknya itu. Boleh dikata dia terjun ke gelanggang politik untuk kali pertama dengan konsep itu dan sampai saat dia digulingkan oleh Soeharto pun masih kukuh bertahan dengan pendapatnya. Soeharto memaksa Bung Karno untuk membubarkan PKI yang dituduh berada di balik pembunuhan para jenderal. Namun konsep Nasakom yang terlanjur diketahui dunia sebagai pemikiran Bung Karno tak memungkinkan buatnya menghilangkan unsur “kom” dari jagat politik di Indonesia. “Tangkap tikusnya, jangan bakar rumahnya,” demikian ujar Bung Karno menanggapi penyelesaian perkara G.30.S yang membabi-buta oleh Soeharto.

Bung Karno memang pemimpin yang teguh di dalam memegang pendirian. Dia tegas dan berani mengatakan tidak di saat dia harus berkata tidak dan berkata iya di saat keadaan mengharuskan dia berbuat sesuatu. Boleh dibilang kalau Bung Karno adalah segelintir pemimpin di dunia yang berani mengatakan “tidak” pada Amerika Serikat.

Di zaman sekarang, ada baiknya menghidupkan kembali semangat persatuan nasional di kalangan rakyat. Karena persatuan nasional yang dirintis oleh Bung Karno itulah bangsa ini tak pernah mengalami balkanisasi, sebagaimana yang terjadi di Uni Soviet.

Orator Kharismatik
Gaya orasinya yang menawan dan tentu saja keahliannya di dalam menyampaikan pidato-pidatonya, membuat Bung Karno lebih cepat diterima rakyat ketimbang pemimpin politik nasionalis lainnya. Bung Karno pandai menerjemahkan konsep-konsep politik modern ke dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna oleh sebagian besar rakyat yang mayoritas buta huruf dan miskin. Ia inovatif di dalam membuat metafor-metafor sehingga apa yang disampaikannya selalu menarik hati orang banyak untuk mendengar pidatonya.

“Kenapa Gunung Kelud meledak? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat. Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan-kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan.......Dooor. Keseluruhan itu meletus,” kata Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Bandung pada 1922. Dengan perumpamaan letusan Gunung Kelud itu ia menjelaskan kepada rakyat tentang dashyatnya kekuatan rakyat Indonesia bilamana bersatu melawan penjajahan.

Di dalam beberapa pidatonya, terutama di era pergerakan, dia acapkali menggunakan ramalan-ramalan Jayabaya di dalam menjelaskan proyeksi masa depan bangsa Indonesia. Dia seakan sadar bahwa massa rakyat pendukungnya tak sepenuhnya paham mengenai soal-soal di dalam pemikiran Marx atau Ernest Renan. Oleh karena demikian dipinjamlah ramalan Jayabaya tentang berkobarnya perang dan datangan bangsa cebol berkulit kuning yang bertahan seumur jagung. Dan kebetulan apa yang diramalkan oleh Jayabaya dan kemudian dikatakan kembali oleh Bung Karno terbukti di kemudian hari benar adanya.

Gagasan kemerdekaan yang diutarakan oleh Bung Karno juga tak lepas dari pengaruh corak gerakan milerianisme dari abad 19. Kemerdekaan, demikian Bung Karno, adalah jembatan emas yang akan menghubungkan rakyat Indonesia kepada suatu zaman cerah; gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Bung Karno sedang membuat mitos, mitos yang justru berhasil menyatukan rakyat di dalam semangat kemerdekaan.

Dalam pledoinya yang legendaris, “Indonesia Menggugat”, dia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan satu hal yang pasti dan hanya menunggu waktu yang tepat saja. “Sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu,” ujar Bung Karno pada majelis hakim landraad Bandung.

Bung Karno sadar dengan pilihan hidup yang telah dia tempuh. Penjara bukan akhir perjuangannya. Pilihan hidup bekerja mapan sebagai pegawai pemerintah kolonial ditampiknya demi berjuang memerdekakan rakyat Indonesia. “Cobalah bayangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah pelopor-pelopor revolusi. Bersumpah untuk menggulingkan pemerintah. Dan Sukarno ‘“ menjadi duri yang paling besar. Setiap hari tajuk rencana menentangku dan tak pernah terluang waktu barang sejam di mana aku tidak dikejar-kerja oleh dua orang detektif atau beberapa orang mata-mata semacam itu,” kata Bung Karno.

Bung Karno dan Ahmadiyah
Akhir-akhir ini terjadi kontroversi yang luar biasa hebatnya mengenai perlu atau tidaknya Ahmadiyah di Indonesia dibubarkan. Persoalan ini bahkan berujung pada insiden Monas, 1 Juni 2008. Cilakanya, insiden itu terjadi pada saat hari Pancasila diperingati, saat yang seharusnya dirayakan sebagai hari keberagaman di Indonesia.

Bagaimana Ahmadiyah menurut Bung Karno?

Pada 25 November 1935, Bung Karno menulis artikel yang berjudul Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi. Artikel itu dia tulis sehubungan adanya isu yang menyebut-nyebut bahwa Bung Karno turut mendirikan organisasi Ahmadiyah di Indonesia dan juga menjadi anggotanya. Isu itu konon disebarluaskan oleh agen intelijen pemerintah kolonial, PID (Politieke Inlichtingen Dients), untuk mendiskreditkan Bung Karno.

Dalam artikelnya itu Bung Karno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. Bung Karno menulis, "Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu".

Bung Karno menampik dikatakan sebagai anggota Ahmadiyah. Ia lebih suka disebut sebagai seorang penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Dan dari tulisannya itu tampak bahwa Bung Karno adalah pembelajar agama Islam yang tekun dan serius, yang mau belajar kepada siapa pun, termasuk kepada kalangan Persatuan Islam (Persis). Ia menempatkan soal belajar hal-hal keagamaan dalam Islam sebagaimana dia juga membaca buku-buku ilmu sosial (Sociale Wetenschappen).

Ia kemudian melanjutkan, "Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur'an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk makingvan den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya "pengeramatan" kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu."

Itulah pandangan Bung Karno terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada Mirza Gulam Ahmad sampai-sampai muncul anggapan dari jemaatnya bahwa dia nabi.

Hal tersebut memperlihatkan sikap toleransi dan kemampuan Bung Karno di dalam memahami sebuah persoalan. Dia tidak bersikap gebyah uyah, pukul rata sembarangan. Bung Besar itu bahkan tidak menghakimi “haram” atau membebani “dosa” pada jemaat Ahmadiyah. Sikap toleransi yang disertai tingkat intelektual yang tinggi itu membuatnya bisa mendalami sebuah permasalahan serumit dan sepelik apa pun itu. Bahkan, ketika dia sudah menjadi presiden Republik Indonesia, belum sekalipun terdengar ada perintah untuk membubarkan Ahmadiyah.

Rasa-rasanya tidak berlebihan untuk menginterpretasikan sikap toleransi Bung Karno tersebut sebagai bukti bahwa dia membangun negara ini bukan untuk satu atau dua golongan saja, melainkan buat seluruh rakyat Indonesia dari golongan mana pun selama dia berkomitmen penuh dan loyal pada Republik Indonesia.

http://www.jurnalnasional.com/?media=KR&cari=kelud&rbrk=&id=52488&pagekr=0&bkr=true&nkr=true&pagebn=0&bbn=false&nbn=

Read More......

Humanity First-Serving Mankind