Bung Karno: Dari Persatuan Nasional Sampai Soal Ahmadiyah
by : Bonnie Triyana
Laksana menguras lautan, membicarakan Bung Karno tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada hal menarik untuk didiskusikan.Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno. Ia lahir pada 6 Juni 1901, mengemukakan konsep Pancasila untuk kali pertama pada 1 Juni 1945 dan meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Tahun ini, karena bertepatan dengan seabad kebangkitan bangsa, hari Pancasila dirayakan secara gegap gempita oleh beberapa elemen masyarakat Indonesia. Namun sayang, sukacita di dalam peringatan tersebut harus ternodai oleh insiden Monas yang menciderai rasa persatuan nasional.
Syafi‘i Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam sebuah kesempatan, mengomentari beberapa kejadian akhir-akhir ini, mengatakan perlunya para pemimpin mempelajari kembali gagasan-gagasan Bung Karno dan Bung Hatta. Untuk membina persatuan bangsa kita memang perlu sesekali menengok ke belakang, melihat kembali apa yang dilakukan oleh para pendiri republik ini di dalam menjaga persatuan.
Banyak pemimpin yang berlagak “futuristik”, selalu menganjurkan pentingnya masa depan. Padahal tanpa bercermin ke masa lalu, yang menghasilkan kekinian, sulit rasanya untuk memprediksi masa depan yang cerah. Terlebih ketika masa lalu ditinggalkan begitu saja tanpa pernah memetik pelajaran daripadanya.
Nasionalisme, Islam, dan Marxisme
Bung Karno menekankan pentingnya persatuan nasional, karena menurutnya hanya itulah benteng terkuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sejak muda, ia menggandrungi persatuan, seperti yang dia perlihatkan ketika menulis artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” pada 1927. Menyatukan semua kekuatan revolusioner (sammenbundelling van alle revolutionaire krachten) demi kemerdekaan Indonesia menjadi tujuan pekerjaan Bung Karno selama bertahun-tahun dan karena itu jualah berulang kali dia masuk penjara kolonial Belanda.
Bung Karno seringkali diolok-olok sebagai pemimpi karena berupaya keras menyatukan ketiga golongan yang banyak disebut orang banyak sebetulnya tak mungkin untuk disatukan. Pemahaman Bung Karno mengenai ketiga hal memang berbeda dari pemahaman kebanyakan orang. Menurut Bung Karno, Islam adalah elemen penting yang menebalkan rasa nasionalisme dan menghimpun persaudaraan di kalangan rakyat jajahan. Ia menilai Islam sama sekali tak bertentangan dengan konsep nasionalisme yang digagasnya.
Sebaliknya, Bung Karno melihat perasaan nasionalisme yang sempit dan terjebak pada sifat chauvinistik justru bertentangan dengan gagasan di dalam Islam. Sementara itu persinggungan antara Marxisme dan Islam yang menurut banyak kalangan bagaikan menyatukan air dan minyak dalam satu wadah sama sekali bukan masalah buat Bung Karno. Dia memandang cita-cita di dalam Marxisme tidak bertentangan dengan Islam, karena Marxisme cuma satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, politik dan sejarah manusia.
Bagi Bung Karno, nasionalisme harus dapat menyediakan tempat bagi Islam dan kaum Marxis dan sebaliknya Islam juga harus bekerjasama dengan nasionalis dan Marxis. Pertentangan antara agama dengan Marxisme dikesampingkan Soekarno dengan menerima materialisme historis dan menolak falsafah materialis. Tentu saja apa yang dibayangkan oleh Bung Karno tidak sepenuhnya berjalan mulus. Paling tidak ketidakmulusan realisasi pemikiran Bung Karno itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan yang terjadi di dalam konstituante di tahun 1950-an, terutama antara golongan Islam dengan kelompok lain yang bahkan mengarah kepada perang saudara.
Menurut pendapat sejarawan Onghokham, Bung Karno memiliki kepentingan untuk membuat sebuah front persatuan di dalam melawan penjajahan. Jadi konsep Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang dia tulis merupakan bentuk “inovasi politik” yang didasarkan pada realitas politik yang sedang berkembang pada zamannya. Ia melihat Sarekat Islam tumbuh pesat dan berhasil menyatukan umat muslim dalam satu wadah, sementara kelompok Marxis, dalam hal ini PKI, berhasil membawa rakyat untuk muncul sebagai kekuatan progresif yang berani melawan Belanda seperti yang terjadi pada peristiwa pemberontakan tahun 1926.
Bung Karno teguh mempertahankan keyakinan politiknya itu. Boleh dikata dia terjun ke gelanggang politik untuk kali pertama dengan konsep itu dan sampai saat dia digulingkan oleh Soeharto pun masih kukuh bertahan dengan pendapatnya. Soeharto memaksa Bung Karno untuk membubarkan PKI yang dituduh berada di balik pembunuhan para jenderal. Namun konsep Nasakom yang terlanjur diketahui dunia sebagai pemikiran Bung Karno tak memungkinkan buatnya menghilangkan unsur “kom” dari jagat politik di Indonesia. “Tangkap tikusnya, jangan bakar rumahnya,” demikian ujar Bung Karno menanggapi penyelesaian perkara G.30.S yang membabi-buta oleh Soeharto.
Bung Karno memang pemimpin yang teguh di dalam memegang pendirian. Dia tegas dan berani mengatakan tidak di saat dia harus berkata tidak dan berkata iya di saat keadaan mengharuskan dia berbuat sesuatu. Boleh dibilang kalau Bung Karno adalah segelintir pemimpin di dunia yang berani mengatakan “tidak” pada Amerika Serikat.
Di zaman sekarang, ada baiknya menghidupkan kembali semangat persatuan nasional di kalangan rakyat. Karena persatuan nasional yang dirintis oleh Bung Karno itulah bangsa ini tak pernah mengalami balkanisasi, sebagaimana yang terjadi di Uni Soviet.
Orator Kharismatik
Gaya orasinya yang menawan dan tentu saja keahliannya di dalam menyampaikan pidato-pidatonya, membuat Bung Karno lebih cepat diterima rakyat ketimbang pemimpin politik nasionalis lainnya. Bung Karno pandai menerjemahkan konsep-konsep politik modern ke dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna oleh sebagian besar rakyat yang mayoritas buta huruf dan miskin. Ia inovatif di dalam membuat metafor-metafor sehingga apa yang disampaikannya selalu menarik hati orang banyak untuk mendengar pidatonya.
“Kenapa Gunung Kelud meledak? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat. Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan-kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan.......Dooor. Keseluruhan itu meletus,” kata Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Bandung pada 1922. Dengan perumpamaan letusan Gunung Kelud itu ia menjelaskan kepada rakyat tentang dashyatnya kekuatan rakyat Indonesia bilamana bersatu melawan penjajahan.
Di dalam beberapa pidatonya, terutama di era pergerakan, dia acapkali menggunakan ramalan-ramalan Jayabaya di dalam menjelaskan proyeksi masa depan bangsa Indonesia. Dia seakan sadar bahwa massa rakyat pendukungnya tak sepenuhnya paham mengenai soal-soal di dalam pemikiran Marx atau Ernest Renan. Oleh karena demikian dipinjamlah ramalan Jayabaya tentang berkobarnya perang dan datangan bangsa cebol berkulit kuning yang bertahan seumur jagung. Dan kebetulan apa yang diramalkan oleh Jayabaya dan kemudian dikatakan kembali oleh Bung Karno terbukti di kemudian hari benar adanya.
Gagasan kemerdekaan yang diutarakan oleh Bung Karno juga tak lepas dari pengaruh corak gerakan milerianisme dari abad 19. Kemerdekaan, demikian Bung Karno, adalah jembatan emas yang akan menghubungkan rakyat Indonesia kepada suatu zaman cerah; gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Bung Karno sedang membuat mitos, mitos yang justru berhasil menyatukan rakyat di dalam semangat kemerdekaan.
Dalam pledoinya yang legendaris, “Indonesia Menggugat”, dia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan satu hal yang pasti dan hanya menunggu waktu yang tepat saja. “Sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu,” ujar Bung Karno pada majelis hakim landraad Bandung.
Bung Karno sadar dengan pilihan hidup yang telah dia tempuh. Penjara bukan akhir perjuangannya. Pilihan hidup bekerja mapan sebagai pegawai pemerintah kolonial ditampiknya demi berjuang memerdekakan rakyat Indonesia. “Cobalah bayangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah pelopor-pelopor revolusi. Bersumpah untuk menggulingkan pemerintah. Dan Sukarno ‘“ menjadi duri yang paling besar. Setiap hari tajuk rencana menentangku dan tak pernah terluang waktu barang sejam di mana aku tidak dikejar-kerja oleh dua orang detektif atau beberapa orang mata-mata semacam itu,” kata Bung Karno.
Bung Karno dan Ahmadiyah
Akhir-akhir ini terjadi kontroversi yang luar biasa hebatnya mengenai perlu atau tidaknya Ahmadiyah di Indonesia dibubarkan. Persoalan ini bahkan berujung pada insiden Monas, 1 Juni 2008. Cilakanya, insiden itu terjadi pada saat hari Pancasila diperingati, saat yang seharusnya dirayakan sebagai hari keberagaman di Indonesia.
Bagaimana Ahmadiyah menurut Bung Karno?
Pada 25 November 1935, Bung Karno menulis artikel yang berjudul Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi. Artikel itu dia tulis sehubungan adanya isu yang menyebut-nyebut bahwa Bung Karno turut mendirikan organisasi Ahmadiyah di Indonesia dan juga menjadi anggotanya. Isu itu konon disebarluaskan oleh agen intelijen pemerintah kolonial, PID (Politieke Inlichtingen Dients), untuk mendiskreditkan Bung Karno.
Dalam artikelnya itu Bung Karno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. Bung Karno menulis, "Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu".
Bung Karno menampik dikatakan sebagai anggota Ahmadiyah. Ia lebih suka disebut sebagai seorang penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Dan dari tulisannya itu tampak bahwa Bung Karno adalah pembelajar agama Islam yang tekun dan serius, yang mau belajar kepada siapa pun, termasuk kepada kalangan Persatuan Islam (Persis). Ia menempatkan soal belajar hal-hal keagamaan dalam Islam sebagaimana dia juga membaca buku-buku ilmu sosial (Sociale Wetenschappen).
Ia kemudian melanjutkan, "Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur'an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk makingvan den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya "pengeramatan" kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu."
Itulah pandangan Bung Karno terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada Mirza Gulam Ahmad sampai-sampai muncul anggapan dari jemaatnya bahwa dia nabi.
Hal tersebut memperlihatkan sikap toleransi dan kemampuan Bung Karno di dalam memahami sebuah persoalan. Dia tidak bersikap gebyah uyah, pukul rata sembarangan. Bung Besar itu bahkan tidak menghakimi “haram” atau membebani “dosa” pada jemaat Ahmadiyah. Sikap toleransi yang disertai tingkat intelektual yang tinggi itu membuatnya bisa mendalami sebuah permasalahan serumit dan sepelik apa pun itu. Bahkan, ketika dia sudah menjadi presiden Republik Indonesia, belum sekalipun terdengar ada perintah untuk membubarkan Ahmadiyah.
Rasa-rasanya tidak berlebihan untuk menginterpretasikan sikap toleransi Bung Karno tersebut sebagai bukti bahwa dia membangun negara ini bukan untuk satu atau dua golongan saja, melainkan buat seluruh rakyat Indonesia dari golongan mana pun selama dia berkomitmen penuh dan loyal pada Republik Indonesia.
http://www.jurnalnasional.com/?media=KR&cari=kelud&rbrk=&id=52488&pagekr=0&bkr=true&nkr=true&pagebn=0&bbn=false&nbn=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar