Ahmadiyah, Derita di Atas Jasa
Oleh : Heni Purwono
13-Des-2008, 21:52:03 WIB - [www.kabarindonesia. com]
KabarIndonesia - Kalau Salman Rushdie dianggap menodai Islam dengan
Ayat-ayat Setan-nya, hal serupa dialami oleh Jamaat Ahmadiyah yangdinilai "menyekutukan" kerasulan Muhammad. Namun nasib jelas berbeda.Kalau Salman Rushdie akhirnya dihukum mati sebagai pribadi, makaJamaat Ahmadiyah secara komunal menjadi bulan-bulanan dari mayoritasyang cenderung berlaku tiran. Sungguh menyedihkan, klaim sesat yangdituduhkan terhadap Jamaat Ahmadiyah justru kebanyakan diakibatkan
oleh desas-desus yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran terhadapaktifitas perusakan terhadap Jamaat Ahmadiyah.
Melihat Ahmadiyah Apa Adanya
Kemunculan Ahmadiyah sesungguhnya tak jauh berbeda dengan kemunculan dari faham-faham di Jawa maupun di belahan bumi manapun yangsenantiasa rindu akan tokoh perubah dari keadaan yang carut marut,menjadi zaman yang gilang-gemilang. Sehingga, muncullah kemudian
konsepsi ratu adil, satria piningit, eru cakra, mesias, maupunmelanerisme.
Tak aneh jika faham ini dimana pun dan kapan pun senantiasa akanmenggurita. Hal ini dikarenakan sudah menjadi sebuah hukum alam bahwarotasi kehidupan tentu akan selalu bergulir, dan kondisi perubahan kearah yang lebih dan lebih baik lagi tentu selalu dirindukan oleh semuakalangan. Terlebih ketika faham itu kemudian berbalut denganlegitimasi sebuah religi, makin klop-lah apa yang diyakini tersebutsebagai sebuah kasunyatan.
Ahmadiyah berangkat dari landasan yang hampir diyakini oleh seluruhumat, tak hanya umat Islam, akan munculnya Imam Mahdi. Nah, Imam Mahdidan Isa yang dijanjikan dalam satu nama ini diyakini sebagai pengikutsetia dari Rosululloh Muhammad. Dan bagi kalangan Ahmadiyah, kriteriasemacam ini menitis pada sosok Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qodian
yang mendakwakan dirinya sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Konsespsi Pulung dan Tanda-tanda Kenabian
Ternyata konsep pulung atau wahyu yang terkait dengan kondisi alamataupun lingkungan tak hanya dianut oleh tradisi Jawa, melainkankonsepsi tersebut diyakini oleh hampir semua umat di dunia, apapunkepercayaannya. Demikian juga dengan Jamaat Ahmadiyah, ternyatakeyakinan mereka terhadap "kenabian" Mirza Ghulam Ahmad juga diawalidengan gejala alam, yaitu kemunculan gerhana bulan dan matahari dalambulan yang sama, dan hal itu diyakini telah terjadi pada bulanRamadhan tahun 1894 setelah sebelumnya didahului dengan pembaiatanterhadap 40 pengikut Mirza Ghulam Ahmad di Ludhiana, India pada 23Maret 1889.
Dari tokoh sentral Mirza Ghulam Ahmad inilah diyakini oleh JamaatAhmadiyah bahwa keberadan dunia akan selamat ketika umat mendekatkandiri kepada Tuhan dan juga dekat dengan Imam akhir zaman. Konsepsisemacam ini sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru lagi. Hanya sajasepertinya Jamaah Ahmadiyah terlanjur keseleo menisbatkan tokohsentralnya sebagai seorang nabi. Apesnya lagi, kata-kata nabi sudahterlanjur dikeramatkan oleh sebagian besar kalangan dan telah dianggaphabis masa berlakunya.
Sebagaimana Ayat-ayat Setan-nya Salman Rushdie, sesungguhnya Salmanbisa saja selamat dari hukuman mati seandainya ia mau menggantiAyat-ayat Setan menjadi Ayat-ayat Salman. Atau seandainya menggantinyadengan kata Ayat-ayat Cinta, bisa jadi Habiburrahman El Shirazi takakan seterkenal sekarang ini. Pun demikian dengan "kenabian" MirzaGhulam Ahmad. Seandainya saja ia tidak mentasbihkan diri sebagai nabi,namun cukup menggunakan kata wali, bisa jadi ceritanya akan lain.
Lihatlah semisal, keberadaan para Wali Songo atau bahkan Sultan AgungHanyokro Kusumo Khalifatulloh Jawa, yang sebenarnya memosisikan dirilayaknya nabi. Dan ternyata kebenaran semacam itu lebih bisa diterimaoleh banyak kalangan yang sudah menganggap kata nabi sebagai sesuatuyang sudah menjadi titik mati. Padahal, esensi dari tokoh-tokoh itu dimata pengikutnya, bukankah sama? Dianggap sebagai satria piningit yangakan membawa kesejahteraan bagi rakyat, lepas dari keterpurukan zaman.
Jikalau semua kalangan faham akan konsep ratu adil tersebut, makaniscaya tak akan sampai terjadi arogansi di kalangan masyarakat danpemaksaan terhadap suatu keyakinan. Mengingat sesungguhnya apa yangdiyakini oleh Jamaat Ahmadiyah sejatinya juga diyakini oleh semuaumat, hanya saja dengan kadar penamaan tokoh yang berbeda.
Melihat Jasa-jasa, Melepaskan Derita
Dalam sejarahnya, kedatangan Ahmadiyah pertama kali di kawasan kitayaitu di tahun 1925. dan pada masa itu, tentunya menjadi sebuahpencerahan spiritual di tengah penindasan kaum kolonial yang jugamembawa misi religi. Jamaat Ahmadiyah juga mendukung perjuangan bangsa
Indonesia dengan kekuatan spiritual dengan menginstruksikan seluruhpengikutnya untuk berpuasa Senin-Kamis selama dua bulan penuh di tahun1946, membakar semangat perjuangan di media surat kabar yang tersebarhingga ke luar negeri, dan bahkan Soekarno pun sangat terharu denganperjuangan dan pergerakan Ahmadiyah.
Tak aneh jika dalam buku 'Di Bawah Bendera Revolusi', Ahmadiyahmenjadi salah satu bahasannya. Kalangan Jamaat Ahmadiyah yang mahirberbahasa Urdu juga sempat membantu informasi melalui radio bagipasukan Inggris yang sebagian besar merupakan tentara Gurkha yangtergabung dalam pasukan perdamaian NICA, dalam melucuti senjataJepang. Bahkan mungkin jarang yang tahu, ketika rezim Orde Lamaberkuasa kemudian digulingkan oleh mahasiswa sehingga melahirkan OrdeBaru, salah satu aktor paling berpengaruh adalah seorang Ahmadi(sebutan bagi "penganut" Ahmadiyah) yaitu Khuddam, Arif Rahman Hakim,Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang gugur menjadimartir bagi perjuangan mahasiswa untuk memeperbaiki sistempemerintahan di negeri ini, sehingga ia dinobatkan sebagai pahlawanAmanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Dengan jasa-jasanya, pantaskahjika Jamaat Ahmadiah terus-menerus menanggung derita akibatketidaktahuan kita?
HENI PURWONO, S.Pd. Direktur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah
dan Sosial (Puspless)
Ahmadiyah berangkat dari landasan yang hampir diyakini oleh seluruhumat, tak hanya umat Islam, akan munculnya Imam Mahdi. Nah, Imam Mahdidan Isa yang dijanjikan dalam satu nama ini diyakini sebagai pengikutsetia dari Rosululloh Muhammad. Dan bagi kalangan Ahmadiyah, kriteriasemacam ini menitis pada sosok Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qodian
yang mendakwakan dirinya sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Konsespsi Pulung dan Tanda-tanda Kenabian
Ternyata konsep pulung atau wahyu yang terkait dengan kondisi alamataupun lingkungan tak hanya dianut oleh tradisi Jawa, melainkankonsepsi tersebut diyakini oleh hampir semua umat di dunia, apapunkepercayaannya. Demikian juga dengan Jamaat Ahmadiyah, ternyatakeyakinan mereka terhadap "kenabian" Mirza Ghulam Ahmad juga diawalidengan gejala alam, yaitu kemunculan gerhana bulan dan matahari dalambulan yang sama, dan hal itu diyakini telah terjadi pada bulanRamadhan tahun 1894 setelah sebelumnya didahului dengan pembaiatanterhadap 40 pengikut Mirza Ghulam Ahmad di Ludhiana, India pada 23Maret 1889.
Dari tokoh sentral Mirza Ghulam Ahmad inilah diyakini oleh JamaatAhmadiyah bahwa keberadan dunia akan selamat ketika umat mendekatkandiri kepada Tuhan dan juga dekat dengan Imam akhir zaman. Konsepsisemacam ini sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru lagi. Hanya sajasepertinya Jamaah Ahmadiyah terlanjur keseleo menisbatkan tokohsentralnya sebagai seorang nabi. Apesnya lagi, kata-kata nabi sudahterlanjur dikeramatkan oleh sebagian besar kalangan dan telah dianggaphabis masa berlakunya.
Sebagaimana Ayat-ayat Setan-nya Salman Rushdie, sesungguhnya Salmanbisa saja selamat dari hukuman mati seandainya ia mau menggantiAyat-ayat Setan menjadi Ayat-ayat Salman. Atau seandainya menggantinyadengan kata Ayat-ayat Cinta, bisa jadi Habiburrahman El Shirazi takakan seterkenal sekarang ini. Pun demikian dengan "kenabian" MirzaGhulam Ahmad. Seandainya saja ia tidak mentasbihkan diri sebagai nabi,namun cukup menggunakan kata wali, bisa jadi ceritanya akan lain.
Lihatlah semisal, keberadaan para Wali Songo atau bahkan Sultan AgungHanyokro Kusumo Khalifatulloh Jawa, yang sebenarnya memosisikan dirilayaknya nabi. Dan ternyata kebenaran semacam itu lebih bisa diterimaoleh banyak kalangan yang sudah menganggap kata nabi sebagai sesuatuyang sudah menjadi titik mati. Padahal, esensi dari tokoh-tokoh itu dimata pengikutnya, bukankah sama? Dianggap sebagai satria piningit yangakan membawa kesejahteraan bagi rakyat, lepas dari keterpurukan zaman.
Jikalau semua kalangan faham akan konsep ratu adil tersebut, makaniscaya tak akan sampai terjadi arogansi di kalangan masyarakat danpemaksaan terhadap suatu keyakinan. Mengingat sesungguhnya apa yangdiyakini oleh Jamaat Ahmadiyah sejatinya juga diyakini oleh semuaumat, hanya saja dengan kadar penamaan tokoh yang berbeda.
Melihat Jasa-jasa, Melepaskan Derita
Dalam sejarahnya, kedatangan Ahmadiyah pertama kali di kawasan kitayaitu di tahun 1925. dan pada masa itu, tentunya menjadi sebuahpencerahan spiritual di tengah penindasan kaum kolonial yang jugamembawa misi religi. Jamaat Ahmadiyah juga mendukung perjuangan bangsa
Indonesia dengan kekuatan spiritual dengan menginstruksikan seluruhpengikutnya untuk berpuasa Senin-Kamis selama dua bulan penuh di tahun1946, membakar semangat perjuangan di media surat kabar yang tersebarhingga ke luar negeri, dan bahkan Soekarno pun sangat terharu denganperjuangan dan pergerakan Ahmadiyah.
Tak aneh jika dalam buku 'Di Bawah Bendera Revolusi', Ahmadiyahmenjadi salah satu bahasannya. Kalangan Jamaat Ahmadiyah yang mahirberbahasa Urdu juga sempat membantu informasi melalui radio bagipasukan Inggris yang sebagian besar merupakan tentara Gurkha yangtergabung dalam pasukan perdamaian NICA, dalam melucuti senjataJepang. Bahkan mungkin jarang yang tahu, ketika rezim Orde Lamaberkuasa kemudian digulingkan oleh mahasiswa sehingga melahirkan OrdeBaru, salah satu aktor paling berpengaruh adalah seorang Ahmadi(sebutan bagi "penganut" Ahmadiyah) yaitu Khuddam, Arif Rahman Hakim,Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang gugur menjadimartir bagi perjuangan mahasiswa untuk memeperbaiki sistempemerintahan di negeri ini, sehingga ia dinobatkan sebagai pahlawanAmanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Dengan jasa-jasanya, pantaskahjika Jamaat Ahmadiah terus-menerus menanggung derita akibatketidaktahuan kita?
HENI PURWONO, S.Pd. Direktur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah
dan Sosial (Puspless)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar