Islam Tidak Mengajarkan Anarkisme
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(an-Nahl [16]:125)
Firman Allah Swt ini memberikan petunjuk dengan sangat jelas kepada kita bagaimana metode dakwah yang harus dipergunakan. Konsep dasar dari dakwah itu adalah “menyeru manusia kepada Tuhan” bukan kepada hal yang lain. Hal ini dipertegas dengan kata “ilaa sabiili Rabbika”. Jadi kita diminta untuk mengajak umat manusia menuju jalan Tuhan. Tapi hal ini juga sering disalah persepsikan sehingga ruang lingkup dakwah menjadi sempit, ketika dakwah hanya dimaknai dengan menyeru manusia kepada Islam. Sebenarnya tanpa dikatakan demikian juga konsep ketuhanan dan ketauhidan Ilahi yang sempuna hanya dimiliki oleh Islam.
Ada hal lain yang menarik untuk dikaji ketika sampai kepada bagaimana metode yang Allah Swt berikan untuk berdakwah ini ditekankan kepada masalah “bil-hikmah wa al-mauizhati al-hasanah”(dengan kebijaksanaan dan nasehat yang baik) disana jelas tergambar apa yang menjadi visi dari dakwah itu sendiri yaitu penaklukan hati manusia dan menggunakan cara-cara yang santun, lembut dan damai. Karena metode yang dikedepankan adalah “bil-hikmah wa al-mauizhati” yang kedua hal ini adalah berorientasi menyentuh wilayah hati menusia. Setelah itu disebutkan lagi step terakhir dari proses dakwah adalah “wa jaadilhum bi al-latii hiyaa ahsan” yaitu dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Dan kalau seandainya pada akhirnya terjadi proses perdebatan itupun harus menggunakan cara-cara yang terbaik. Walaupun sebenarnya yang harus kita bangun adalah bukan perdebatan tapi membangun proses dialog yang santun dan terbuka.
Sedih rasanya hati ini menyaksikan sebagian saudara-saudara umat muslim kita yang bertindak anarkis, melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah. Mereka menyatakan diri sedang berdakwah dan berjihad atas nama Islam tetapi bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukankah Allah Swt telah menegaskan bahwa rumah ibadah siapapun dari agama dan golongan apapun tidak boleh dirusak?
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (al-Baqarah [2]:114)
Bahkan ditegaskan dalam ayat ini, orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya sebagai orang yang paling aniaya (azhlamu).
Sudah berapa banyak masjid-masjid milik Jamaah Ahmadiyah yang dirusak oleh massa yang mengatasnamakan Islam dan hal ini sangat memprihatinkan. Alih-alih mengajak umat untuk bisa memakmurkan masjid, malahan masjid yang sudah ada pun menjadi sasaran perusakan.
Jadi selesaikanlah perbedaan dengan cara-cara yang damai bukan dengan jalan kekerasan. Dan masalah keyakinan bukan manusia yang menjadi hakimnya melainkan Allah Swt lah sebagai wujud al-Hakim yang dapat memberikan penghakiman dengan seadil-adilnya. .... .
Selasa, 29 Januari 2008
OPINI
Senin, 28 Januari 2008
Aksi Anarkis
MAJALENGKA, (PR).-
Puluhan anggota sejumlah ormas Islam merusak dan membakar masjid Ahmadiyah di Desa Sadasari, Kec. Argapura, Majalengka, meski masjid itu tengah dijaga aparat kepolisian. Perusakan dilakukan setelah mereka berunjuk rasa ke Gedung DPRD dan Pendopo Gedung Nagara menentang keberadaan Ahmadiyah, Senin, (28/1).
Sejumlah siswa berseragam sekolah juga terlihat ikut berunjuk rasa. Mereka datang ke Gedung DPRD Majalengka sekitar pukul 9.00 WIB dengan penjagaan ketat dari aparat kepolisian.
Mereka ke DPRD menggunakan beberapa kendaraan sambil membawa sejumlah poster berisi kecaman terhadap Ahmadiyah. Massa meminta ketegasan dan komitmen pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah karena dianggap telah menodai agama.
Anehnya, di antara para pedemo itu ada beberapa orang di antaranya yang terlihat membawa minuman keras, dan meminumnya di halaman Gedung DPRD Majalengka sambil mendengarkan orasi yang disampaikan beberapa peserta demo. Pengunjuk rasa yang semula berjanji tidak akan bersikap anarkis, ternyata ada yang melakukan pembakaran masjid.
Wakil Ketua DPRD Majalengka, H. Sutrisno, menyatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti tuntutan para pengunjuk rasa. Namun, agar tidak mengeluarkan keputusan yang salah, ia membutuhkan kepastian apakah Ahmadiyah itu melanggar hukum dan menyalahi agama Islam atau tidak.
Hal itu ditanggapi salah seorang pengunjuk rasa, M. Iqbal M.I. Menurut dia, sudah ada fatwa MUI yang melarang ajaran Ahmadiyah.
Perwakilan pengunjuk rasa itu juga diterima Wakil Bupati Majalengka K.H. Ilyas Helmi, Kapolres Majalengka AKBP Gagah Suseno, Kajari Tonny Sinai, Ketua DPRD H. Eman Sulaeman, dan Ketua MUI Majalengka K.H. Mumu Ridwanullah. Dalam pertemuan tersebut mereka menyepakati akan mengonsultasikan masalah Ahmadiyah itu ke Depdagri.
"Persoalan agama itu adalah persoalan pemerintah pusat sehingga kita belum bisa memutuskan. Dalam waktu dekat, kita akan melakukan pertemuan dengan ulama membahas hal ini," ungkap Wakil Bupati Majalengka.
Perusakan masjid
Setelah berunjuk rasa di DPRD, puluhan pengunjuk rasa di antaranya melanjutkan aksinya dengan merusak masjid Ahmadiyah di Desa Sadasari. Masjid itu sebenarnya telah dirusak massa beberapa waktu lalu.
Mereka naik ke atas genting, mencopotinya satu per satu dan melemparkannya ke bawah. Warga juga membakar karpet masjid, walau tidak sampai membakar bangunan masjid tersebut.
Kapolres Majalengka AKBP Gagah Suseno membenarkan terjadinya aksi tersebut. Menurut Kapolres, polisi telah melakukan penjagaan ketat baik di pendopo, gedung DPRD, dan gedung kejaksaan. Petugas juga sudah sebenarnya sudah berupaya menghadang massa di pintu masuk ke Desa Sadasari untuk menghindari aksi anarkis terhadap permukiman dan masjid milik Ahmadiyah.
"Kita sebenarnya telah melakukan penjagaan dan memblokir jalan menuju masjid. Namun, ternyata mereka masuk melalui jalan belakang dan menyimpan kendaraan di pintu masuk ke kantor balai desa sehingga bisa lolos dari pantauan," ungkap Gagah.
Menurut dia, polisi telah mengidentifikasi pelaku perusakan dan akan dikenai sanksi hukum. (C-30)*** .... . Read More......
Perusakan Masjid milik Ahmadiyah
Liputan6.com, Majalengka: Masjid milik jemaat Ahmadiyah di Desa Sadasari, Argapura, Majalengka, Jawa Barat, belum lama ini kembali menjadi sasaran amuk massa. Aksi anarkis ini diperbuat sekelompok warga yang tak menerima keberadaan jemaat Ahmadiyah. Selain merusak masjid, massa juga membakar karpet yang berada di dalam tempat ibadah kelompok tersebut.
Sejumlah polisi yang berjaga di sekitar masjid tak mampu berbuat banyak. Ini mengingat jumlah warga lebih banyak. Aksi perusakan untuk kesekian kalinya ini terjadi usai warga menggelar unjuk rasa ke Kantor Bupati dan Kejaksaan Negeri setempat. Demonstran juga menuntut agar rekan-rekan mereka yang diperiksa polisi terkait aksi perusakan sebelumnya segera dibebaskan. Namun karena menilai tuntutannya tidak ditanggapi, massa kemudian melampiaskan kemarahan dengan merusak masjid milik pengikut Ahmadiyah [baca: Puluhan Perusak Masjid Ahmadiyah Serahkan Diri].(ANS/Ridwan Pamungkas)http://www.liputan6.com/daerah/?id=154157 Read More......
Minggu, 27 Januari 2008
OPINI
09/12/2007
Oleh Robith Qosidi
Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa sejak jaman sahabat, sistem politik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka terhadap sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarang dinasti Islam zaman klasik, seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zaman sahabat radliyallahu anhum, mengadopsi sistem non-Islam.
Seperti Sayyidina Umar radliyallahu anhu mengadopsi sistem diwan (administrasi negara untuk mengatur kebijakan ekonomi makro dan administrasi militer), dll) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:304), beliau juga berijtihad untuk mengadopsi perangkat hukum seperti penjara, dinasti Umayyah mengadopsi perangkat pemerintahan seperti protokoler (hijabah) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356), Abbasiyah megadopsi sistem wizarah (kementerian) ala Persia. Ibn Khillikan mengatakan dalam kitab Wafyat al-A'yan bahwa orang paling pertama menyandang gelar wazir dengan wewenang tertentu adalah Abu Salamah dalam dinasti Abbasiyah. Sebelumnya, gelar wazir dengan wewenang tertentu tidak pernah ada, baik di masa Umayyah dan masa lainnya. (Ibn Khillikan:1971:Vol I:229)
Data di atas membuktikan bahwa dari dahulu pemerintahan yang dijalankan umat Islam selalu terbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam. Bahkan ciri-ciri pemerintahan Islam itu justru terbuka dengan sistem luar serta berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan maslahat umat. Tapi ini tidak serta merta menunjukkan tidak ada inovasi sama sekali dalam konsep-konsep politik Islam. Justru yang terjadi umat Islam melakukan pembenahan-pembenahan agar sistem politik tersebut bisa sesuai dengan kondisi umat Islam dan membawa maslahat bagi umat Islam.
Oleh karena itu penulis tidak sepakat dengan pemikir seperti al-Jabiry (dalam buku al-Aql as-Siyasy :2000) serta orientalis seperti Louis Marlow (dalam buku Masyarakat Egaliter: 1987). Yang menggambarkan bahwa keterpengaruhan sistem politik Islam dari sistem luar itu adalah bentuk ketidak mandirian sistem politik Islam. Tidak, sama sekali tidak. Masalahnya muncul karena al-Jabiry dan Marlow hanya mengkaji akar konsep tanpa memperhatikan perubahan fungsi serta motivasi adopsi sistem politik tersebut. Sehingga penilaiannya menjadi berat sebelah.
Mereka membangun argumentasi seperti ini: Kelahiran konsep-konsep politik umat Islam klasik itu berada dalam paradigma sistem sosial politik Persia yang membagi elemen sosial umara' (pemerintah) dan ulama (kahanah). Dua elemen sosial ini dianggap saudara kembar (tauamany), bukan satu kesatuan, seperti di jaman sahabat radliyallahu anhum yang tidak membagi antara elemen sosial umara dan ulama. Di masa sahabat umara juga seorang ulama yang mujtahid, seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a. Paradigma sosial politik seperti inilah yang membuat karya politik umat Islam hanya berupa nasihat seorang ulama terhadap seorang presiden. Sama halnya di zaman Persia kuna tugas seorang kahanah (agamawan Majusi) adalah menasehati raja. Penulis tidak sepakat dengan penyederhanaan masalah seperti ini.
Bagi penulis justru nasihat bagi para raja merupakan upaya ulama untuk memberikan dimensi etis bagi sistem politik yang ada. Semua karya politik Islam, khususnya karya Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, seperti karya al-Ghazaly dalam Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan karya-karya Nashaih al-Muluk (nasehat bagi raja) mempunyai fungsi dan motivasi mulia. Yaitu memasukkan nilai akhlaq pada sistem politik yang kaku, bahkan pada sistem fiqh yang kaku. Sebab jika syariat diterapkan tanpa pendekatan akhlak (etis), maka yang terjadi adalah diktatorisme syariat, bentuk-bentuk syariat yang dipahami secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanah atau terbang bersama udara. Inilah yang membuat penulis tidak sependapat dengan Islam garis keras yang memahami dari sisi hukum (fiqih) saja, tapi tidak mendekati syariat dengan dimensi etis dan spritual.
Penulis menganggap bahwa penerapan syariat tanpa dimensi akhlaq hanya akan menghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah al-hasanah wa al-mujadalah billaty hiya ahsan. Serta akan bermunculan gaya dakwah dengan pedang atau mungkin dengan teror bom bagi rakyat sipil yang tak berdosa. Padahal Nabi Saw sudah mengatakan dengan jelas, dalam peperangan sekalipun tidak boleh membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, orang lemah, serta tidak boleh menghancurkan harta benda, serta tidak boleh menghancurkan rumah ibadah agama lain.
Penerapan syariat dengan wajah radikal pun menurut penulis akan menghilangkan ruh hukum itu sendiri. Serta menghilangkan gaya Rasul SAW dalam menerapkan syariat. Pertanyaannya benarkah Rasul Saw menerapkan syariat secara ganas dan radikal. Sama sekali tidak. Justru Rasul SAW menerapkan syariat dengan penuh etika dan mengedepankan maslahat. Sebab, kalau kita mengikuti pola pikir golongan Islam garis keras, maka diandaikan Rasul Saw seakan-akan menerapkan hukum Islam tanpa ampun, tanpa nego. Jika ada yang mencuri, potong tangan. Jika ada yang berzinah, dirajam. Jika salah langsung di hukum. Penulis justru melihat Rasul SAW tidak seperti itu. Penulis melihat ada proses-proses psikologis, etis, dan dakwah bil hihmah wa al-mauidlah hasanah, wal mujadalah billaty hiya ahsan.
Penulis tidak akan berbicara bagaimana hukum dalam Islam diterapkan secara gradual (tadrijy). Penulis ingin memotret fenomena lain tentang bagaimana Rasul SAW menerapkan hukum. Penulis ingin mengambil contoh seorang wanita pezinah yang dihukum oleh Rasul. Ceritanya bermula saat wanita itu menghadap Rasul SAW dan mengaku berzinah. Kalau kita mengikuti Islam garis maka seharusnya Rasul Saw langsung merajam wanita itu. Yang terjadi justru tidak begitu. Rasul Saw menyuruh wanita itu pulang, seraya berkata mungkin kamu hanya pegang-pegangan, kemudian disuruh pulang. Kemudian lain hari wanita itu datang lagi dengan mengaku hal yang sama. Kalau kita mengikuti golongan Islam garis keras, saat itu harusnya Rasul SAW merajam wanita itu, kalau tidak beliau tidak menjalankan perintah Allah, sebab sering kita dengar golongan Islam garis keras menafsirkan ayat wa man la yahkum bima anzalalallahu faulaika hum al-kafirun, munafiqun, fasiqun, secara semena-mena. Yang terjadi justru Rasul Saw bersebrangan dengan pola pikir golongan Islam garis keras, kemudian beliau mengatakan mungkin kamu tidak sampai bersenggama jima', lalu wanita itu disuruh pulang. Wanita tetap datang lagi sampai berkali-kali, dan disuruh pulang berkali-kali, sampai wanita pezinah itu melahirkan anak, baru ia dihukum oleh Rasul SAW. Betapa beliau mengajarkan bagaimana penerapan hukum itu dengan santun, tenang, tidak gegabah, serta mengedepankan maslahat.
Ini juga tauladan dari Rasul SAW agar kita tidak bertindak sceara emosional. Sama halnya ketika beliau menghadapi orang yang kencing di mesjid Nabawy. Para sahabat langsung menghunuskan pedang. Ternyata beliau melarang menggunakan kekerasan dan bertindak emosional. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa orang itu kafir, menghina Islam, darahnya halal. Tidak, sama sekali tidak. Beliau dengan wajah tersenyum menyuruh untuk menyiram bekas kencing orang badui tersebut dan memaafkannya. Masyallah, innahu la'ala khuluqin adlim. Sesungguhnya beliau berakhlaq mulia. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Ada contoh menarik lagi yang pantas untuk kita renungkan. Suatu saat ada seorang tua dan miskin bersenggama di tengah hari di bulan ramadlan. Ia datang pada Rasul SAW. Ia mengatakan saya bersenggama, wahai Rasul saw. Beliau menyuruhnya untuk memerdekakan budak. Dia menjelaskan bahwa dia tidak punya uang. Rasul saw menyuruhnya berpuasa dua bulan. Ia mengatakan, saya lemah, tua, dan tidak kuat. Rasul saw menyuruh untuk memberi makan pada orang miskin. Ia pun mengatakan, ia sangat miskin dan tidak punya uang. Lalu apakah kemudian tidak ada pilihan lain. Mungkin kalau menggunakan logika Islam garis keras pasti tak ada pilihan lain. Karena pemahaman yang salah tentang wa man la yahkum bima anzalallahu faulaika hum al-kafirun. Rasul justru memberi alternatif keempat yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Lalu beliau memberikannya korma, seraya mengatakan, bersedekahlah dengan korma ini. Subhanallah, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Sesungguhnya, engkau paduka Rasul saw, benar-benar diutus untuk memberi rahmat bagi alam semesta. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Jadi hukum yang diterapkan Rasul SAW itu tidak kaku, tapi fleksibel. Dan hukum bukan untuk hukum, melainkan untuk maslahat. Ahlussunnah wal Jma'ah mendekati hukum dengan pendekatan maslahat tersebut. Itu juga yang dicontohkan oleh sahabat radliyallahu anhum. Oleh karena itu NU tidak melihat politik dijalankan hanya dengan pemahaman teks an-sich yang radikal. Sebab itu bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Kita pun sering melihat para sahabat melakukan banyak hal karena berlandaskan maslahat an-sich asal sejalan dengan ruh Islam. Seperti Abu Bakar Ra mengumpulkan mushaf al-Qur'an, memerangi mani' zakat, menunjuk Umar sebagai pemimpin penggantinya. Serta Umar Ra tidak memberikan zakat pada muallaf qulubuhum, membuat diwan atha' dan diwan jaisy, menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada saat krisis ekonomi. Serta Usman menetapkan satu mushaf usmany dan membakar yang lain. Serta masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa kebijakan politik dan pemerintahan mereka tidak berdasarkan pada nash sharih, tapi berdasarkan maslahat dan sesuai dengan ruh Islam. Sebab pemerintahan itu tidak bisa dijalankan dengan teks an-sich, harus selalu ada ijtihad agar mampu memasukkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Semua itu karena tujuan utama berdirinya negara adalah maslahat umat dan tegaknya keadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, dan membawa maslahat. Bahkan demi terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperangan berkepanjangan yang hanya merugikan umat Islam. Oleh karena itu baik al-Ghazaly maupun Ibn Taimiyah, memperbolehkan untuk hidup di dalam kekuasaan yang fajir (pendosa) sekalipun. Sebab bertahun-tahun bersama pemimpin fajir lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin. Sebab berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.
Bahkan dikisahkan dalam Al-Qur'an banyak negara yang tidak memeluk Islam tapi damai, tentram, sejahtera, dan dipuji Allah swt. Atas dasar ini pula al-Ghazaly lebih mementingkan keadilan dan kesejahteraan daripada sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk, ia menasehati semua pemeritah muslim, "...Maka perlu kamu ketahui bahwa pembangunan negeri dan kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeri akan makmur seperti di jaman (Raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra Anusyirwan. Sedangkan jika pemimpinnya dlalim maka negeri akan rusak berantakan seperti di jaman Dhahhak, Afrasiyan, Barsdkan...). Dalam teks ini terlihat Al-Ghazali tidak terlalu memusingkan bentuk pemerintahan, mau pemerintahan Persia, Arab atau lain sebagainya. Yang penting pemimpin harus adil dan membawa maslahat bagi umat.
Jadi, sudah seharusnya kita keluar dari dikotomi kaku antara Dar al-Kufr (Negeri Kafir) dan Dar al-Islam (Negeri Islam). Tidakkah kita mencari alternatif bentuk negeri yang lain. Sebuah negeri yang terbuka pada sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankan maslahat, serta bisa menerapkan syariat Islam, akhlaq Islam, Aqidah Islam dengan damai dan santun: Yaitu Dar as-Salam (Negeri Damai). Itulah Indonesia.
Alumnus Universitas Al Azhar, Mantan Ketua Lakpesdam PCINU Mesir
International
Ribuan Warga Palestina Serbu Wilayah Mesir
GETTY IMAGES/ABID KATIB
Puluhan ribu warga Palestina menerobos tembok pembatas di Kota Rafah, Rabu (23/1).
Artikel Terkait:
Kamis, 24 Januari 2008 00:17 WIB
RAFAH, RABU - Puluhan ribu warga Palestina menerobos tembok pembatas di Kota Rafah yang dibangun Israel pada 2004, setelah diledakkan terlebih dulu. Mereka berbondong-bondong ke Kota Rafah wilayah Mesir untuk mencari makanan dan bahan bakar akibat blokade yang dilakukan Israel.
"Mereka sangat haus kebebasan, lapar akan makanan dan butuh banyak hal," kata seorang Mesir pemilik toko yang hanya menyebut namanya Hamida.
Rafah merupakan kota yang terbagi dua, wilayah Gaza dan Mesir. Pembagian itu ditandai batas tembok setinggi enam meter yang dibangun Israel pada 2004. Para militan berhasil meledakkannya sepanjang 200 meter.
Begitu Malam tiba, Rabu (23/1), puluhan ribu warga Palestina langsung menyerbu ke wilayah Mesir melalui Jalur Gaza. Pejabat setempat memperkirakan, rombongan tersebut mencapai sekitar 200.000 orang. Rafah pun segera berubah menjadi pasar malam. Mereka memborong segala keperluan hidup. Mereka ke wilayah Mesir dengan membawa keledai, troli dan gerobak.
"Saya membeli banyak hal untuk keperluan hidup selama beberapa bulan. Saya membeli makanan, rokok, juga beberapa galon bahan bagar untuk mobil saya," jelas Mohammed Saeed.
Minggu lalu, Israel memang memperketat daerah perbatasan. Israel juga menyetop pengiriman bahan bakar, hingga membuat listrik di wilayah Gaza tak bisa menyala. Selain itu, suplai makanan juga diblokade. Hancurnya tembok perbatasan di Rafah merupakan pukulan sekaligus memperlemah tekanan yang dilakukan Israel.
Sementara itu, sekutu Israel, Amerika Serikat, menyalahkan kelompok Hamas sebagai penyebab kekacauan di Gaza. "Kesalahan sepenuhnya berada di pihak Hamas sebagai penyebab kekacauan di Jalur Gaza," kata juru bicara Gedung Putih, Dana Perino.
"Situasinya benar-benar membuat Israel dalam masalah. Sebab, Hamas telah meluncurkan 150 roket setiap harinya ke wilayah Israel, hingga negara tersebut terpaksa melakukan blokade," tambahnya.
Terminal perbatasan di Rafah, yang menjadi pintu warga Gaza ke dunia luar, ditutup sejak Hamas menentang perundingan perdamaian dengan Israel yang dilakukan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Juni 2007.
Banjir warga Palestina ke Rafah tersebut tak bisa dicegah Pemerintah Mesir. Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan, "Biarlah mereka datang untuk makan dan membeli bahan-bahan makanan. Mereka boleh kembali lagi asal tidak membawa senjata."
Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak yang sedang berkunjung ke Paris, tak bisa menyalahkan Mesir. "Saya percaya Mesir tahu dan akan menghormati peran mereka dalam kerangka masalah ini. Saya kira, tak akan ada gunanya untuk menambah pendapat dalam masalah ini," katanya.
namun, sebelumnya Israel mengkritik Mesir yang membiarkan terjadinya penyelundupan senjata ke Jalur Gaza melalui Rafah. Sementara Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengatakan, pihaknya tidak akan menyebabkan kekacauan di Jalur Gaza jika para militan tidak meluncurkan roket ke wilayahnya.
Menurut tentara Israel, sejak minggu lalu militan Palestina sudah mengirimkan 250 roket ke wilayah Israel. Ini dijadikan alasan Israel untuk melakukan kekerasan terhadap warga Palestina yang dicurigai. Sejauh ini, tentara Israel sudah membunuh 30 warga Palestina. (AP/HPR
http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.01.24.00175245&channel=1&mn=9&idx=25
Last Updated ( Sunday, 27 January 2008
Jumat, 25 Januari 2008
OPINI
MENARIK dicermati pernyataan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan andil atas terjadinya berbagai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Ia mencontohkan fatwa sesat yang dikeluarkan MUI untuk kelompok Ahmadiyah dan orang-orang yang bergabung dalam gerakan Shalawatan Wahidiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat.
"MUI bukan satu-satunya organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Karena itu, jangan gegabah mengeluarkan pendapat yang bisa membuat kesalahpahaman. Saya minta MUI tidak menggunakan kata sesat," katanya dalam orasi catatan akhir tahun lalu.
Sementara itu Menteri Agama, Maftuh Basuni, pernah menyarankan agar komunitas Ahmadiyah membuat agama baru. Gagasan "aneh" tersebut dilontarkan oleh Menag pascakriminalisasi warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Februari 2007.
Tak bisa mipungkiri, aksi biadab itu salah satu pemicunya adalah fatwa MUI yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah adalah aliran sesat. Warga Ahmadiyah menilai, aparat keamanan juga berperan memperparah perusakan di tempat-tempat Ahmadiyah. Sebab, saat kejadian, aparat keamanan lebih banyak membiarkan daripada mencegah.
Sementara itu kalangan LSM berpendapat, pembiaran tersebut disebabkan oleh tidak konsistennya peraturan perundang-undangan. Masih terdapat benturan antara UU 39/1999 tentang HAM dan KUHP.
Hal tersebut menyebabkan aparat hukum bingung menafsirkan antara kebebasan beragama dan penodaan agama. Di satu sisi, UU HAM mengatur kebebasan beragama, di sisi lain KUHP mengatur penodaan agama.
Haruskah Ahmadiyah meleburkan dirinya menjadi agama baru? Tidakkah hal itu justru bertentangan dengan UUD yang menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya? Tidakkah lebih baik jika fatwa sesat Ahmadiyah itu justru dicabut?
Ditinjau Kembali
Melihat ekses negatif fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh MUI itu, maka menurut saya, lebih baik fatwa tersebut ditinjau kembali dan bahkan harus dicabut. Mengapa?
Pertama, jika fatwa tentang larangan Ahmadiyah tetap dipertahankan, berarti hanya ada satu pilihan buat mereka, yaitu kembali ke Islam "lurus". Kalau saja anggota Ahmadiyah menolak untuk mengikuti Islam versi MUI, mereka akan kehilangan hak untuk tinggal di Indonesia.
Kedua, fatwa itu -meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL- mengingatkan kita kepada inkuisisi akidah yang pernah dipraktikkan oleh Raja Ferdinand di Spanyol setelah berhasil merebut kembali (reconquista) tanah di Semenanjung Iberia itu dari kekuasaan Islam. Dia memberikan tiga pilihan kepada umat Islam dan Yahudi kala itu: masuk Kristen, hengkang dari Spanyol, atau dibunuh.
Tindakan Raja Ferdinand itu kontras dengan toleransi yang dipraktikkan oleh raja-raja Islam di Spanyol selama berabad-abad. Nasib yang dialami oleh orang-orang Ahmadiyah di Indonesia mirip dengan nasib umat Islam dan Yahudi di Spanyol era itu: kembali ke jalan "lurus", yaitu Islam, hengkang dari Indonesia, atau tetap tinggal namun dengan sejumlah risiko?
Ketiga, fatwa MUI penuh persoalan dilihat dari sudut kehidupan berbangsa. Fatwa itu adalah setback, ditinjau dari upaya membangun kehidupan kebangsaan yang plural. Bahkan, fatwa yang berkaitan dengan Ahmadiyah jelas-jelas berlawanan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan melaksanakan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Kebebasan berkeyakinan dijamin oleh UUD 1945. Pasal 28 E Ayat 2 menyebutkan, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat 2 pasal 28 E menegaskan, setiap orang berhak atas kekebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan ahti nuraninya. Ayat 3 menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Fikih Toleransi
Selama ini, sikap toleran dan bersedia menenggang rasa perbedaan di antara kita acapkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda.
Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah selama 2007 kian membuktikan masih minusnya rasa saling menghargai perbedaan dan keberagaman di antara umat Islam sendiri.
Dalam konteks itu, maka membangun fikih toleransi - meminjam istilah Amin Abdullah- menjadi sangat penting.
Menurut Rektor UIN Yogjakarta itu, fikih toleransi lebih banyak bertumpu pada cara berpikir, cara bergaul, dan cara berinteraksi. Sebastiano Mosso, dalam bukunya Tolleranza e Pluralismo, mengatakan bahwa toleransi pada hakikatnya berpangkal pada kesadaran diri manusia akan bisikan nurani yang benar, lurus, dan sehat.
Dengan demikian, fikih toleransi didasarkan atas sikap inklusif, pluralis, dan multikulturalis terhadap sesama. Fikih toleransi mengandaikan pilihan dasar positif manusia atas keadaan antarsesamanya yang terbelenggu dalam ketertindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan .
Sikap dasar itu adalah kesediaan untuk menerima, menghargai, dan menghormati sesama sebagai insan yang memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Karenanya, fikih toleransi menuntut adanya keikhlasan dan keberanian moral manusia untuk mengakui serta menerima perbedaan dalam hidup sehari-hari tanpa disertai tindakan anarkis dan radikal, karena hal itu jelas bertentangan dengan Islam sebagai rahmatan lil'alamin.
Walhasil, jalan keluar di tengah konflik Ahmadiyah, menurut saya, bukan dengan cara meminta mereka untuk kembali kepada Islam mainstream atau keluar dari Islam dan membuat agama baru seperti disarankan Menag, melainkan dengan cara mencabut fatwa sesat MUI itu dan membiarkan mereka untuk eksis hidup berdampingan dengan umat yang lain, dengan tetap mengedepankan sikap toleransi yang menuntut para pemeluk agama saling menghargai perbedaan dan menerima keyakinan masing-masing.
Selama fatwa sesat MUI itu tidak dicabut, maka pada 2008 ini kekerasan sangat mungkin akan kembali terjadi.(68)
-- Maksun, dosen Fakultas SyariĆah IAIN Walisongo Semarang
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
Senin, 14 Januari 2008
News Update
Washington, Jan 07: A majority of Pakistanis want a “moderate and democratic Islamic” state but is wary of the US as they perceive that Washington is “hostile” toward Islam, according to a survey.
They have little sympathy for Islamist military groups and rejects “Talibanization” of the country and supports recent government efforts to reform the madrassah system, said the survey conducted by worldpublicopinion.org with assistance from the US Institute of Peace.
“While Pakistan is racked by conflict between leaders and groups vying for power, this poll indicates that most Pakistanis largely agree on a moderate and democratic Islamic state,” Steven Kull of worldpublicopinion.org said in a statement recently.
“The good news is that majority of Pakistanis view most militant groups in Pakistan as a threat. The bad news is that many Pakistanis view the US with great suspicion,” Christine Fair of the Rand Corporation, formerly at the US Institute of Peace, remarked.
There is a growing Pakistani perception that the United States is hostile to their desire for a more Islamic society. Indeed, 86 per cent now say it is definitely (70%) or probably (16%) a US goal to “weaken and divide the Islamic world.”
The survey finds strong public support for a wider role for Islam.
Asked to gauge the importance of living “in a country that is governed according to Islamic principles (Sharia)” on a 10-point scale, 61 per cent give an answer of 10 (meaning absolutely important).
And on the importance of living “in a country that is governed by representatives elected by the people”, the mean response is 8.4, which indicates an overwhelming support for the suggestion.
But, there is little support among Pakistanis for a shift to extreme religious conservatism. Only a small minority (15%) even among those who want a greater role for Sharia say they want to see more “Talibanization of daily life”.
Eighty-one per cent say it is important for Pakistan to protect religious minorities which have been frequent targets of militant violence and three quarters (75-78 per cent) say that attacks on specific religious minorities (Ahmadiyya and Shia) are never justified.
The survey identified substantial support for reforming the religious schools known as madrassahs. About two-thirds (64 per cent) support a recent government plan to regulate the madrassahs, requiring them to register with the government and to spend more time on subjects like math and science.
Only 17 per cent are opposed to such reform efforts. Interestingly, those who want a larger role for Sharia are more likely than others to strongly favour these reforms.
There is also little sympathy for Islamist militant groups operating in Pakistan. Three in five (60-62 per cent) view the activities of al Qaeda, local Taliban, and Pakistani Islamist militant groups as threats to Pakistans vital interests.
The survey has shown that a large majority wants the special status of the region along the afghan border known as the Federally Administered Tribal Areas (FATA) to be phased out and for the FATA to be integrated into Pakistan’s legal structure.
Seventy-two per cent think the frontier crimes regulation should be changed so that people in FATA “have the same rights and responsibilities as all other Pakistanis.” Only 8 per cent think it should be left unchanged.
The survey was conducted from Sept 12-18, just before President Pervez Musharraf declared a six-week state of Emergency.
Bureau Report
Read complete report at http://www.worldpublicopinion.org/pipa/articles/home_page/440.php?lb=hmpg1&pnt=440&nid=&id
Kamis, 10 Januari 2008
Islamic Values
It is unfortunate that Islam, the religion of peace, hope, harmony, goodwill and Brotherhood had been badly tarnished by the perpetrators of various terrorists acts and barbarism as seen on September 11, 2001. The purpose of this presentation is to set forth the teachings of Islam so that manifestations of various terrorist acts are fully exposed in the light of Islamic teachings under whose shelter these activities are being committed. Diplomatic immunity and ethics of war in Islam Islamic Jihad Peace and international relations in Islam DIPLOMATIC IMMUNITY AND ETHICS OF WARAccording to the Islamic Holy Book - the Quran, God has bestowed honour on every individual irrespective of skin colour, race, nationality, etc. Freedom is one of the great favours of God and its deprivation is a great misery. Under the Islamic dispensation, no one can be made a captive without a just cause. Prisoners can only be taken in the event of a regular declared war or battle and not for any other reason or under any other pretext. The Holy Quran specifically states: It does not behove a Prophet that he should have captives until he engages in regular fighting in the land. If you take captives, except in regular fighting, you will be regarded as desiring the goods of this world, while ALLAH desires for you the Hereafter. And ALLAH is Mighty, Wise (8:68) This verse cuts at the root of not only slavery practice in years gone by but also demolishes any supposed justification of modern day hostage-taking and hijacking of innocent people not involved in actual combat.
In his farewell address the Holy Prophet of Islam gave special instructions regarding good treatment which should be meted out to prisoners. The Holy Prophet said: O men, you still have in your possession some prisoners of war. I advise you, therefore, to feed them and to clothe them in the same way and style as you feed and clothe yourselves ..... To give them pain or trouble can never be tolerated. More specific commandments on the ethics of war and treatment of prisoners are contained in the fifth verse of the forty-seventh chapter of the Quran. This comprehensive verse can be paraphrased as follows: "When engaged in a regular battle, it should be fought bravely and relentlessly. War can be continued till peace and freedom of conscience are established. Prisoners are to be taken judiciously. Free men cannot be deprived of their liberty without a just and reasonable cause. When war is over, prisoners should be released as an act of favour or on taking ransom or by negotiating a mutual exchange." In the history of Islam all these methods have been used for releasing prisoners. A novel method to get release was that the educated prisoners could teach reading and writing to those who were illiterate, in lieu of ransom. This verse further strikes at the roots of those who would justify modern day terrorism in the name and under the banner of Islam. Envoys are privileged people in the Islamic system. They enjoy full personal immunity. They are not subject to political ransom, no matter how worthy the cause may be, and to kidnap them is a heinous crime. They must not be killed, molested or maltreated. There are numerous instances from the Holy Prophet's life which illustrate the application of these principles. Thus Islamic scriptural commandments and the precepts of the Holy Prophet of Islam concerning diplomatic immunity are free from ambiguities. In a nutshell, taking hostages and maltreating envoys and private citizens in any shape and form is totally foreign to the teachings and doctrines of Islam. In other words, the philosophy of Islam totally rejects terrorism. CONCEPT OF JIHAD IN ISLAMThrough the actions of some elements, the western world visualizes a wrong concept of Jihad (Holy War). The word Jihad conjures up the vision of a marching band of religious fanatics with savage beards and fiery eyes, brandishing swords and attacking the infidels. Jihad in Islamic terminology means to make an effort, to endeavour and to strive in a noble way. Over the centuries this meaning of Jihad has been obliterated or at least diluted. The critical juncture in the Islamic world requires reviving and recapturing the true and pristine meaning of Jihad. Jihad can be divided into two broad categories. First is Jihad-e-akbar. This is Jihad against one's own person to curb sinful inclinations, i.e., purification of self. This is the most difficult Jihad and hence in terms of rewards and blessings is the highest category of Jihad. The second is Jihad-e-asghar. This is Jihad of the sword. This is communal Jihad and presupposes certain specific conditions. The Quran speaks of fighting only against those who first attack Muslims and this is the very condition laid down in other verses of the Holy Quran as well. The so-called verse of the sword in the Islamic scripture is often taken out of context as if it inculcates an indiscriminate massacre of all unbelievers. The Quranic words such as kill whatever you find them apply only in cases where the enemy has first attacked Muslims and apply to those unbelievers and enemies who break their oaths and firm agreements. They do not apply to unprovoked wars and battles. To interpret these verses in any other manner would be a travesty of the lofty ideals of Islam. There is not a single instance in the life of the Holy Prophet where he offered the alternative of the sword or Islam to anyone. The Western media and even some scholars sometimes ignore the distinction between these two aspects of Jihad. It must be remembered that the Holy Quran does not make Jihad, the holy war, in context of an article of faith. The sayings and traditions of the Holy Prophet render it into a formula for active struggle that invariably and incorrectly tended towards a militant expression. Modern day terrorism is contrary to the purview of the real spirit of the Islamic Jihad. The presentation of Islam as a crude and barbaric religion which gives itself the right to cause unwarranted human and material suffering and destruction under the guise of Divine authority, is not the kind of Islam we find in the Holy Quran and in the precepts of the Holy Prophet Muhammad (peace and blessings of Allah be upon him!) PEACE AND INTERNATIONAL RELATIONS IN ISLAMAmong the attributes of God, the Holy Quran mentions that He is the Source of peace and the Bestower of security (59:23). The establishment of peace and maintenance of security must, therefore, be the constant objective of all Muslims and non-Muslims alike. Every pursuit and activity which disturbs peace is severely condemned in Islam. We find specific injunctions in the Holy Quran: And create not disorder in the earth after it has been set in order.... (7:57; 11:86; 29:37)Mischief and wickedness are condemned in several other verses and Muslims are commanded to work wholly for peace. Islam draws attention to factors which tend to disturb or destroy peace and order, and deprecates them. Domination of one group by another in the domestic sphere, or of one people by another in the international sphere is a potent cause of disturbance of peace and is therefore strongly condemned. Economic exploitation of one people or country by another inevitably leads to domination by the exploiters, and develops into a potential threat to peace. The Holy Quran prohibits such exploitation and an economy based on exploitation cannot be beneficial in its consequences, nor can it endure. Islam visualizes an association of strong and stable states allied together in the pursuance of peace, freedom of conscience and the promotion of human welfare. Treaties or covenants between nations may have to be drawn up which should be done in a straightforward language and should not be evaded or repudiated under the temptation of securing some advantage. In case of difficulties and disputes, it is the duty of Muslims to bring about a peaceful settlement and adjustment. The Holy Quran teaches that God has sent His revelation to all people from time to time. Many of prophets of the Old Testament are mentioned by name and so is Jesus who with other prophets is honoured and revered by all Muslims. Indeed, the Quran requires belief in the truth of all these prophets. Islam is thus unique and distinct in requiring an affirmation in all prophets wherever they appeared and therefore it seeks to bring about reconciliation between the followers of different faiths and to establish a basis of respect and honour among them. The Quran says: Surely, those who believe and the Jews and the Christians and the Sabians - whichever party from among these truly believes in ALLAH and the Last Day and does good deeds, shall have their reward with their Lord, and no fear shall come upon then nor shall they grieve (2:63) The same message is repeated in 5:70. The basic unity of the followers of all faiths is emphatically stressed in the Holy Quran and the creation of discord and disunity by terrorism or otherwise has no place in Islam. In the domain of international relations, religion and inter-religious relations occupy an important position. Unfortunately, comparatively little attention is paid to this aspect of human relations. It is assumed that religion is a private matter for each individual and should, therefore, have no direct connection with the political, social aspects of life. This assumption is not justified. Islam being an egalitarian religion, is not just a personal faith, but an all-encompassing codes of values and conduct. Islam is and will be a vital factor in human relations and there is a good ground of hope that it might progressively become more effective in promoting unity and accord rather than continue to be required on the part of religious and political leaders to achieve that goal. I must conclude by saying that whether peace or war, acts of terrorism are not only condemned in Islam but are also pointedly declared alien to the teachings of Islam which in fact means peace through the submission to the Will of God, the Lord of all human beings. Only through conformity to Divine laws can we hope to achieve the ideal of a secure world free of terrorism. BIBLIOGRAPHYAbbot, Freeland. (1968) Islam and Pakistan. Ithaca: Cornell University Press.Ahmad, Mirza Bashiruddin Mahmud. (1980). Invitation to Ahmadiyyat, London: Routledge & Kegan Paul.Khan, Sir Muhammad Zafrullah (1989). Islam: Its Meaning for Modern Man. New York & Evanston: Harper & Row.The Holy Quran (Arabic Text with the English Translation by the late Sir Muhammad Zafrullah Khan: President of the 17th Session of U.N. General Assembly and later Judge and President of the International Court of Justice at the Hague, London; Curzon Press http://www.alislam.org/library/links/00000104.html
Kamis, 03 Januari 2008
Bencana Melanda Indonesia
Korban Tewas Lesus di Brebes Jadi 4 Jiwa
Kamis, 3 Januari 2008 - 20:11 wib
BREBES - Korban terjangan angin puting beliung disertai sambaran petir di Brebes, Jawa Tengah, bertambah menjadi empat orang. Dua korban terahir yakni Sodik (65), warga Banjaratma, dan Soimah (25), berdomisili di Dukuh Sipuguh, Banjaratma.Sama halnya dengan kedua korban pertama, yakni Sofyan (27) dan Khodijah (35), mereka yang berada di areal persawahan tewas disambar petir yang datang bersamaan dengan terjangan lesus, sekira pukul 14.00 WIB, Kamis (3/1/2008) siang."Korban meninggal seluruhnya berjumlah empat orang. Ini mengagetkan," ujar Kepala Kesbanglinmas Pemkab Brebes, Kustoro, di lokasi kejadian, sore ini.Sebelumnya, hanya diketahui ada dua korban yakni Sofyan dan Khodijah. Keduanya menghembuskan nafas akibat sambaran petir di lokasi yang tidak terlalu berjauhan.Khodijah, saat maut maut menjemput, tengah membersihkan bawang merah di kebun miliknya. Posisinya tidak jauh dari tempat Sofyan yang saat itu tengah berjalan dalam pusaran angin. Sejurus kemudian petir menggelegar menyambar keduanya.Menurutnya, Pemkab Brebes akan memberikan bantuan kepada seluruh warga yang turut menjadi korban.(Untung Subejo/Sindo/jri)
http://www.okezone.com/
Lesus Disertai Petir Hantam Brebes, 2 Tewas
Kamis, 3 Januari 2008 - 18:59 wib
BREBES - Angin puting beliung disertai sambaran petir menewaskan dua orang di Brebes, Kamis (3/1/2008) sore. Kedua korban meninggal adalah Sofyan (27) dan Khodijah (40). Keduanya adalah warga Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jateng.Menurut warga, lesus mulai menerjang rumah mereka sekira pukul 14.00 WIB. Musibah didahului oleh hujan yang turun dengan derasnya."Tiba-tiba, hujan berhenti, lalu datang angin menderu-deru dari arah utara langsung menghantam rumah warga. Bersamaan dengan itu, beberapa kali petir terdengar menyambar, keras sekali," ujar Warjo (35), warga setempat.Saat angin ribut mengamuk itulah, kedua korban tengah dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Sofyan, diketahui baru saja menanam padi di sawahnya bersama ayahnya, Mustadi (53). Sedangkan Khodijah yang berada tidak jauh dari tempat Sofyan berada, tengah membersihkan bawang merah yang habis dipanen dari areal kebun miliknya."Tiba-tiba petir menyambar mereka. Korban tidak sempat dilarikan ke rumah sakit. Saat didatangi, keduanya sudah meninggal dunia," timpal Subkhan (40), warga setempat, yang rumahnya ikut rusak diterjang lesus.Kedua jenazah korban saat ini masih disemayamkan di rumah duka. Rencananya keluarga akan memandikan dan kemudian segera mengebumikan di tempat pemakaman umum (TPU) Tegalglagah.(Untung Subejo/Sindo/jri)
http://www.okezone.com/
Badai La Nina Landa NTT, Bencana Mengancam
Jum'at, 28 Desember 2007 - 11:36 wib
Lelin - Okezone
KUPANG - Curah hujan yang terjadi diatas ambang normal sepekan terakhir disebagian wilayah NTT berpeluang menimbulkan badai La Nina. Hal ini menandakan wilayah NTT mulai memasuki periode bencana seperti tanah longsor, banjir dan bencana alam lainnya.Untuk itu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) meminta seluruh masyarakat agar selalu waspada dan meningkatkan kesiapsiagaan.Kepala BMG Stasiun El Tari Kupang, Albertus Kusbagio, yang dihubungi melalui telepon selulernya Jumat (28/12/2007) mengatakan, indeks osilasi selatan (ISO) saat ini +10,9 yang berarti seluruh wilayah NTT harus waspada sebab hujan dengan intensitas tinggi akan terjadi sehingga sangat berpeluang menimbulkan bencana.Dia mengatakan, Badai La Nina akan terjadi di NTT sampai dengan akhir Desember 2007 akibat adanya tekanan rendah 1.002 milibar sehingga berdampak juga pada gelombang laut yang mengganas di beberapa perairan."Gelombang laut di Laut Flores telah mencapai lima meter. Sedangkan di perairan NTT lainnya rata-rata tiga meter," kata Kusbagio.Sejumlah perahu nelayan yang sementara berlabuh di pelabuhan perikanan Tenau, Kupang, karam setelah dizhandam gelombang dasyat beberapa hari terakhir."Perahu saya tambatkan Kamis pagi, dan sore hari ketika saya ingin pindahkan ke tempat yang aman, ternyata sudah karam dan tenggelam akibat dihantam gelombang," kata Andika, salah satu pemilik armada penangkapan ikan.Gelombang ganas yang terjadi tiga hari terakhir berdampak pula pada dihentikannya seluruh armada pelayaran PT.Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) ke sejumlah daerah. Sejak Jumat, armada-armada ASDP dilabuhkan di pantai Hansisi, pulau Semau.Kepala Cabang PT ASDP Kupang La Unru, yang dihubungi di Kupang mengatakan, pihaknya menghentikan sementara pelayaran dengan tujuan Kupang-Rote dengan menggunakan KM. Balibo, lintasan Kalabahi-Baranusa dengan KM. Namparnos serta tiga pelayaran lainnya menuju ke Pulau Sabu dan Flores.Para nelayan pun terpaksa menghentikan aktifitas melaut akibat gelombang laut yang rata-rata mencapai tiga meter di perairan Kupang dan sekitarnya.(jri)
http://www.okezone.com/
03/01/2008 18:58
Ketinggian Banjir di Gresik Kembali Naik
Liputan6.com, Gresik: Ketinggian banjir yang merendam kawasan Gresik, Jawa Timur naik. Banjir yang sebelumnya menyusut hingga selutut orang dewasa, kini kembali naik menjadi sepinggang orang dewasa. Demikian pantauan SCTV, Kamis (3/1) petang.
Naiknya volume air akibat hujan yang terus mengguyur kawasan Gresik dengan intensitas sedang. Sebagian warga masih belum mau mengungsi meski rumah mereka terendam banjir [baca: Gresik Masih Terendam].
Sementara sebagian warga Laren, Lamongan memilih bertahan di pengungsian. Mereka takut akan adanya banjir susulan. Maklum, hujan masih mengguyur kawasan tersebut. Namun sebagian lainnya memberanikan pulang ke rumah.
Warga yang pulang langsung membersihkan rumah dari sisa-sisa banjir. Mereka juga membersihkan perabot yang terendam lumpur. Mereka terpaksa menggunakan air kotor. Pasalnya tak ada air bersih. Mereka berharap bantuan segera disalurkan.
Pemandangan seperti kota mati terlihat di Bojonegoro. Jalan-jalan protokol yang biasa ramai lalu lalang kendaraan, kini sepi. Aktivitas benar-benar lumpuh di antaranya terlihat di Jalan Panglima Sudirman dan Jalan Mohammad Thamrin
http://www.liputan6.com/
.
03/01/2008 14:59
Banjir di Karangbinangun Belum Surut
Liputan6.com, Lamongan: Banjir setinggi lebih dari satu meter di Kecamatan Karangbinangun, Lamongan, Jawa Timur, akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo belum surut. Kecamatan ini selalu menjadi langganan banjir setiap hujan turun. Ini karena daerah tersebut merupakan dataran rendah. Namun, banjir kali ini adalah yang terparah.
Dari pantauan SCTV, Kamis (3/1), terbatasnya lokasi pengungsian membuat warga yang mengungsi terpaksa ditampung di sebuah bangunan sekolah dasar. Tapi, sebagian korban terutama yang memiliki rumah bertingkat memilih bertahan di tempat tinggalnya masing-masing walau sudah terkepung banjir.(REN/Tim Liputan 6 SCTV)
Sedangkan di beberapa wilayah yang sudah tak terendam banjir tampak batang-batang pohon yang tumbang berserakan di jalan. Pemerintah daerah setempat telah mengirimkan bantuan material untuk membangun tanggul yang jebol.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)
27/12/2007 20:14 LIPUTAN KHUSUS
HITAM PUTIH 2007
Liputan6.com, Jakarta: Tepat satu tahun yang lalu, pada hari pertama di Januari 2007, pesawat Adam Air nomor penerbangan 574 hilang, dalam perjalanan dari Surabaya menuju Manado. Sampai saat ini, tak ada satu pun penumpang yang pernah ditemukan. Cuaca buruk dilaporkan menghalangi komunikasi, namun tak pernah ada penjelasan mengapa kecelakaan itu terjadi. Tiga ribu enam ratus orang lebih dikerahkan dalam pencarian, begitu pun bantuan pihak asing, menelan biaya Rp1 miliar per hari selama kurang lebih satu bulan. Baru pada Agustus 2007, kotak hitam pesawat naas ini ditemukan, dan sampai sekarang masih dalam penelitian pemerintah Amerika Serikat. Peristiwa itu memulai lembar hitam dalam catatan sejarah transportasi. Kecelakaan demi kecelakaan terjadi, tidak hanya di udara, namun juga di darat maupun laut.Dua bulan kemudian, kecelakaan menimpa pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan 200, saat mendarat di Yogyakarta. Penyelidikan belakangan menyalahkan sang pilot, karena melanggar prosedur pendaratan. Akibat kelalaiannya, 22 penumpang tewas.Di laut, Indonesia juga berduka akibat tenggelamnya kapal motor Senopati Nusantara di Laut Jawa, yang menewaskan lebih dari 400 penumpangnya. Sayangnya, kabar buruk tentang keselamatan transportasi negeri ini tak berakhir di sana. Masih di laut, insiden kapal motor Livina I bulan Februari lalu, masih berbekas di benak. Lebih dari 50 orang tewas, saat kapal terbakar di lepas pantai Jakarta.Korban bertambah, setelah tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan rombongan wartawan yang datang ke lokasi, tenggelam bersama kapal, seorang di antara korban, merupakan juru kamera SCTV, Muhammad Guntur.Kecelakaan tak hanya terjadi di udara dan laut. Di darat, maut juga tajam mengintai. Nyaris setiap bulan, media massa menyuguhkan adanya kecelakaan yang menimpa transportasi massal seperti kereta api dan bus.Berkaca pada tahun 2007, tak heran bila menatap tahun yang baru, muncul pertanyaan, soal kepastian keselamatan perjalanan.Tahun 2007 juga tak lepas dari bencana alam, yang melanda negeri ini. Ratusan nyawa menghilang, dan ribuan lainnya terpaksa dirawat atau mengungsiHanya beberapa hari sebelum tahun 2007 berakhir, Indonesia dikejutkan dengan longsor di Karanganyar, Jawa Tengah. Sebanyak 60 orang lebih tewas, saat longsor menyerang dinihari, saat warga sedang bekerja bakti membersihkan sisa banjir yang melanda wilayah mereka. Korban terbanyak berada di Desa Ledoksari Kecamatan Tawangmangu.Tragedi ini, dan berbagai longsor lain di sejumlah daerah, seakan mengakhiri tahun yang diwarnai sekian banyak bencana alam.Sejumlah daerah di indonesia, termasuk ibukota terendam banjir dan pasang laut, yang datang dan surut silih berganti. Penyebabnya bukan hanya kesemrawutan perencanaan pembangunan, namun juga bagian dari dampak pemanasan global, yang menaikkan ketinggian air di daerah pesisir.Sepanjang 2007, kita banyak mendengar tentang istilah "pemanasan global" mulai dari berbagai forum di luar negeri, sampai akhirnya pada pertengahan Desember, Indonesia menjadi tuan rumah KTT PBB tentang perubahan iklim, yaitu fenomena yang merupakan salah satu dampak pemanasan global. Namun, meski menjadi primadona, itu bukan berarti tahun 2007 merupakan tahun penyelesaian masalah yang sudah menjadi momok dunia ini.Hitam Putih 2007 juga menyoroti sebelas topik lain yang mengisi lembar perjalanan sepanjang tahun, antara lain menyangkut nasib buruh, kenaikan harga minyak, perseteruan indonesia dan malaysia, bermunculannya aliran agama, berbagai manuver politik, kekerasan bersenjata, hingga bencana alam dan krisis politik di mancanegara. Semua itu kami rangkum dan sajikan untuk Anda, sebagai catatan akhir tahun bagi kita semua.(Merdi Sofansyah)
http://www.liputan6.com/