Oleh R u m a d i*
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan pernyataan yang bisa memancing kontroversi. Setelah mengeluarkan sejumlah fatwa untuk menyesatkan aliran keagamaan tertentu, kini MUI mengeluarkan panduan untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat. Jika fatwa ibarat orang memancing, panduan mengenali kelompok sesat ini seperti menebar jala. Jika memancing hanya dapat satu per satu ikan, jala memungkinkan untuk mendapat ikan jauh lebih banyak hanya dalam sekali lemparan.
Sepuluh ciri untuk mengidentifikasi aliran sesat ala MUI adalah: 1) mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam; 2) meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; 3) meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4) mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5) melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; 7) menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8) mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; 9) mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10) mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya (6/11/07).
Bagaimana menjelaskan ini semua? Harus dibedakan, panduan mengidentifikasi aliran sesat ini bukan fatwa keagamaan. Jika fatwa mempunyai dimensi hukum (fiqih) yang mempunyai ikatan religius-spiritual bagi orang atau kelompok yang mengikuti (mulzim binafsih) dan dirumuskan melalui kaidah-kaidah penetapan hukum Islam, panduan untuk mengidentifikasi aliran sesat tidak demikian. Panduan ini harus dilihat sebagai pendapat (opini) biasa yang tidak ada kaitan transedensinya. Sebagai sebuah pendapat tentu saja ia bisa diuji kebenarannya, dibantah, dan diperdebatkan.
Meski demikian, opini MUI ini mempunyai bobot yang berbeda dengan pendapat personal pada umumnya. Bukan saja karena MUI dianggap sebagai lembaga yang mempunyai “otoritas agama”, tapi masyarakat Indonesia juga belum bisa membedakan tentang status pendapat dan fatwa MUI. Akibatnya, apa saja yang dikeluarkan MUI dianggap sebagai fatwa agama yang harus diikuti. Karena itu, sebagai sebuah pendapat, panduan mengidentifikasi kelompok sesat harus dilihat sebagai opini biasa, boleh disepakati boleh tidak. Orang yang mengikuti pendapat MUI dan melakukan tindakan kekerasan, tetap harus dilihat sebagai tindakan kriminal.
Namun saya menyadari, fatwa MUI mempunyai posisi khusus bagi kelompok Islam tertentu. Karena itu, fatwa ini pasti akan diikuti kelompok itu dan menjadi energi untuk melakukan “operasi” kelompok sesat. Karena itu, jangan kaget kalau setelah keluar panduan ini akan semakin banyak terdengar penghakiman satu kelompok atas kelompok Islam lain yang dianggap menyimpang.
***
Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang layak dikomentari dari panduan identifikasi kelompok sesat yang dikeluarkan MUI. Pertama, secara substansial banyak hal yang layak dipersoalkan. Ada kriteria yang sifatnya sangat normatif seperti soal rukun iman dan rukun Islam, otentisitas al-Quran. Pada tingkat ini, meski dalam beberapa aspeknya bisa dipermasalahkan, tapi hal ini mencerminkan arus utama keyakinan teologis Islam.
Namun sejumlah kriteria yang lain sangat problemtis. Sebut saja misalnya “melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir”. Ketentuan ini tidak cukup jelas maksudnya, karena itu bisa menimbulkan berbagai berbagai penafsiran. Tentu saja saya tidak menuntut ketentuan ini diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang problematis. Penafsiran terhadap al-Quran dan kaidah-kaidah (metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena perkembangan inilah al-Quran bisa senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan).
Kedua, akibat yang paling mungkin muncul dari panduan penyesatan MUI adalah munculnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mudah mengklaim sesat terhadap kelompok lain. Hal demikian jelas sangat potensial untuk menciptakan keresahan baru dalam kehidupan masyarakat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat komunikasi baru baru dalam masyarakat yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” sebenarnya merupakan alat komunikasi kekerasan.
Ketiga, pada tingkat tertentu panduan penyesatan MUI ini sangat potensial dijadikan sebagai alat untuk menteror aktifitas berpikir umat Islam, baik teror yang muncul dari luar maupun dari dalam. Teror dari luar akan muncul dari orang lain yang dengan panduan ini digunakan untuk mengawasi pikiran dan tindakan orang lain. Akibat teror dari luar ini akan menimbulkan ketakutan sehingga orang mengontrol dirinya sendiri. Jika teror ini masuk pada dunia akademik Islam, terutama Perguruan Tinggi, jelas sangat berbahaya, karena akan terjadi pembakuan dan pembekuan terhadap intelektualisme Islam.
***
Di luar itu semua, yang mengherankan justru sikap pemerintah. Dalam berbagai kasus tentang aliran-aliran keagamaan, ada kesan kuat bahwa pemerintah senantiasa berada dibawah kendali MUI. Mulai dari aparat penegak hukum sampai presiden selalu menjadikan pendapat MUI sebagai rujukan dalam mengambil sikap. Bahkan, setelah MUI mengeluarkan sepuluh panduan untuk mengeidentifikasi aliran sesat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan akan memerangi aliran sesat. Bahkan, dalam sejarah Indonesia, SBY lah satu-satunya presiden yang membuat pernyataan demikian.
Sikap yang ditunjukkan SBY tentang aliran sempalan keagamaan jelas sangat paradoks dengan sikapnya terhadap diskriminasi Konghucu. Dalam perayaan Imlek awal Pebruari 2006, SBY membuat pernyataan yang terkesan sangat pluralis, terbuka, dan menunjukkan visi seorang negarawan. Ketika itu, Presiden SBY menyampaikan niatnya untuk mengakhiri istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara.
“Prinsip yang dianut UUD adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran agama. Tugas negara adalah memberikan perlindungan, pelayanan, serta membantu pembangunan dan pemeliharaan sarana peribadatan serta mendorong pemeluk agama yang bersangkutan menjadi pemeluk agama yang baik,” kata Presiden disambut gemuruh tepuk umat Konghucu yang hadir dalam perayaan itu.
Pernyataan tersebut jelang menunjukkan sikap seorang negarawan dengan visi pluralisme yang jelas. Namun dalam kasus aliran sempalan, presiden justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Tidak ada lagi visi kenegarawanan yang harus melindungi warga negara. Presiden justru seperti aparatus MUI yang akan menjalankan agenda dan visi MUI tentang kehidupan beragama, bukan melaksanakan UU yang menjamin kebebasan beragama. Hal ini juga diperparah dengan kenyataan, aparat kepolisian nyaris tidak pernah menindak kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan tindak kekerasan terhadap pengikut aliran tertentu yang dianggap sesat.
Jika kenyataan ini dibiarkan, maka pelan-pelan Indonesia akan berubah menjadi negara agama, dimana otoritas politik dikendalikan oleh otoritas agama. Sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Soal Aliran Sesat
Sepuluh panduan mengidentifikasi aliran sesat MUI tersebut tidak terlepas dari maraknya aliran-aliran keagamaan yang dipandang sesat. Bagaimana fenomena tersebut dijelaskan dan disikapi? Fenomena aliran-aliran keagamaan baru tidak bisa dilihat semata-mata sebagai fenomena keagamaan, tapi di dalamnya juga terkait dengan problem sosial, ekonomi, dan budaya. Kalau aliran-aliran baru semata dilihat sebagai fenomena agama maka jawaban yang muncul menjadi sangat simplistis, antara sesat dan tidak sesat, benar dan salah. Jawaban seperti ini memang tidak sepenuhnya keliru, namun harus disadari ini tidak bisa menyelesaikan akar masalah. Fatwa sesat yang dikeluarkan MUI misalnya, tak ubahnya seperti obat generik yang hanya bisa menghilangkan penyakit dalam sesaat. Karena itu, penjelasan sosial, ekonomi dan kebudayaan menjadi penting.
Dalam perspektif yang terkahir ini, aliran-aliran baru dapat dimaknai sebagai protes atas aliran-aliran lama yang dianggap jauh dari kepentingannya sebagai orang beragama. Dalam isu nabi baru misalnya, meskipun nabi-nabi baru mengaku mendapat “wahyu”, namun pada dasarnya hal tersebut menunjukkan adanya kritik atas fungsi agama yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Para nabi baru ini adalah orang-orang yang sedang mengupayakan “status sosial” baru melalui ruang psikologis masyarakat yang merindukan adanya mesiah sebagai juru selamat dalam situasi sosial yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elit agama tidak perlu marah yang berlebihan, tapi justru melakukan instropeksi apakah agama cukup fungsional untuk menyelesaikan masalah riil kehidupan.
Terkait dengan itu, beberapa hal barangkali penting untuk dipikirkan. Pertama, para elit agama seharusnya memberi pendidikan keagamaan untuk mendorong kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama antara lain bisa dilihat dari bagaimana cara merespon berbagai persoalan termasuk hal-hal yang dianggap melecehkan agamanya. Tindakan kekerasan terhadap orang yang dianggap melecehkan agama sebenarnya merupakan cermin kekurangdewasaan kita. Kedua, pera elit agama jangan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang potensial dimanfaatkan kelompok masyarakat untuk melakukan kekerasan bermotif agama. Kalau toh ada kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai aliran sesat, biarlah hal itu diselesaikan melalui mekanisme hukum, bukan dengan aksi kekerasan.
Ketiga, aparatus negara seharusnya profesional dengan bertindak sebagai pelindung untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Karena itu, pelaku tindak kekerasan tidak ada alasan dibiarkan terus menerus. Aparat kemanan harus bertindak lebih tegas kepada kelompok-kelompok penyerang, tidak justru menindak korban. Fungsi aparat pemerintah untuk melindungi warga negara harus menjadi landasan kerja secara profesional. Aparat tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dan atas nama apapun.
Meski pengikut aliran-aliran baru kita anggap sesat, mereka tetap warga negara yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi negara. Fatwa sesat MUI belum tentu sesat juga bagi pengadilan. Kesiapan menerima kemungkinan seperti ini juga menjadi bagian kedewasaan beragama.[]
.... .
*Penulis Peneliti the Wahid Institute Jakarta
http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=2760&Itemid=40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar